koding

Selamat Datang di Laman Situs Hindu- Budha Kawasan Sumatera, Madura, dan Kalimantan Republik Indonesia. Selamat Menambah ilmu. Lestarikan Cagar Budaya Kita ! Sadarkan Masyarakat Kita ! UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR:PM.49/UM.001/MKP/2009 TENTANG PEDOMAN PELESTARIAN BENDA CAGAR BUDAYA DAN SITUS.

Jumat, 30 September 2016

Candi Bingin Jungut - Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan

Kondisi situs
Candi Bingin Jungut terletak di Desa Bingin Jungut, Kecamatan Muara Kelingi, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan.  Untuk sampai ke situs tersebut, harus berhenti di hutan marga tepat di dekat desa. Tim kemudian berjalan kaki sekitar 500 meter masuk hutan. Dipandu dua warga Desa Bingin Jungut, tim mencoba menemukan situs candi. Sayang sekali, saat ditemukan setelah 15 menit berjalan kaki, candi ini dalam kondisi telantar, tidak dirawat, dan tertutup pepohonan lebat. Batu bata bekas fondasi candi juga berserakan. Meski demikian, masyarakat setempat tetap menghargai candi itu sebagai peninggalan nenek moyang mereka. Situs itu dikeramatkan warga sebagai tempat berdoa kepada leluhur.

Hasi penelitian
Keberadaan candi untuk kali pertama dilaporkan oleh Schnitger pada 1937 dalam bukunya yang berjudul The Archaeology of Hindoo Sumatra. Selanjutnya ia menyebutkan dari situs tersebut ditemukan arca Awalokiteśwara yang bertangan empat (kini disimpan di Museum Nasional, D-216-247) dan arca Buddha yang belum selesai (kini disimpan di Museum Balaputradewa Palembang). 

Arca Awalokiteśwara yang bertangan empat digambarkan dalam posisi berdiri (berukuran tinggi 192 cm) dan memakai mahkota dengan hiasan Buddha Amithaba. Di bagian punggungnya terdapat tulisan yang berbunyi //daŋ ācāryya syuta//. Arca tersebut adalah Arcaha Mahāyana yang dibuat di tempat setelah keluarga Śailendra berkuasa di Jawa pada abad ke-7–9 Masehi. Berdasarkan bentuk tulisannya berasal dari sekitar abad ke-8 Masehi. Arca Buddha yang belum selesai digambarkan dalam posisi tapak tangan kanan diarahkan ke depan, sedangkan tangan kirinya tertutup jubah. Bagian bawah arca belum selesai dikerjakan. Arca Buddha itu termasuk Buddha Mahāyana yang dibuat di tempat dan mungkin telah ada ketika I-Tsing bermukim di Śrīwijaya.


Gambar 1. Arca candi 
Sumber : Utomo ( 2010, p.155)

Pada 1997 dan 1998 Balai Arkeologi Palembang mengadakan penelitian arkeologi di situs itu. Dari penelitian yang dilakukannya, tim berhasil menemukan struktur fondasi bangunan bata. Namun karena kotak yang digali tidak banyak, atau mungkin keadaan struktur telah rusak, maka bentuk dan ukuran denah bangunan belum dapat diketahui. Lepas dari keadaan situs yang telah rusak, di daerah tersebut pada masa lampau terdapat sekelompok masyarakat yang beragama Buddha. Pada awal  Februari 2014 ada laporan masyarakat akan penemuan benda bersejarah dilakukan penelitian pada pertengahan Maret 2014. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan, menginventarisir dan investigasi penemuan dua cagar budaya di Desa Bingin Jungut.

 Gambar 2. Penelitian situs
Sumber : Putra ( 2014, p.1)

Temuan berikutnya berupa patung kepala naga terjadi pada bulan September 2014. Balai Arkeologi Palembang memastikan hasil temuan merupakan hiasan pada pintu masuk bagian atas candi Bingin Jungut sekitar abad 12 masa Hindu-Budha. Patung berukuran panjang 70 sentimeter dan lebar 16 sentimeter tersebut ditemukan tak jauh dari Sungai Musi pada Senin 10 September 2014 sekitar pukul 10.00 WIB. Ornamen berbentuk kepala singa itu pertama kali ditemukan seorang warga bernama Sutarman. Batu itu terpendam di lahan milik Hamim (68).
  Patung kepala singa
Sumber : Wedya ( 2014, P.1)

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Musirawas, Hamam Santoso menerangkan, pihaknya sudah mengamankan sejumlah temuan dari warga sekitar lokasi selain temuan kepala patung. Temuan yang diamankan itu diantaranya sejumlah bata dan puing-puing dari mahkota kepala patung.


Daftar Pustaka :
Haryadi, S. (2014, September 12). Balai arkeolog sebut patung kepala ada hiasan candi bingin jungut. Sriwijaya Post. Retrieved  September 22, 2016, from http://www.kompas.co.id  

Nababan, H. F. (2010, March 10). Jelajah musi : candi bingin dikeramatkan warga. Kompas Cyber Media. Retrieved  September 22, 2016, from http://www.kompas.co.id  

Putra, Y.M.P. (2014, March 23). Disbudpar investigasi cagar budaya di bingin jungut. Republika News. Retrieved  September 22, 2016, from http://www.palembang.tribunnews.co.id  

Utomo, Bambang Budi, 2014, “Candi Bingin Jungut” dalam Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan (ed.) Candi  Indonesia Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa, Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hlm. 155–156

Wedya, E.N. (2014, September 12). Penemuan batu berbentuk kepala singa hebohkan warga. Okezone News. Retrieved  September 22, 2016, from http://www.nws. okezone.com 

Candi Bingin Jungut - Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan

Kondisi situs
Candi Bingin Jungut terletak di Desa Bingin Jungut, Kecamatan Muara Kelingi, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan.  Untuk sampai ke situs tersebut, harus berhenti di hutan marga tepat di dekat desa. Tim kemudian berjalan kaki sekitar 500 meter masuk hutan. Dipandu dua warga Desa Bingin Jungut, tim mencoba menemukan situs candi. Sayang sekali, saat ditemukan setelah 15 menit berjalan kaki, candi ini dalam kondisi telantar, tidak dirawat, dan tertutup pepohonan lebat. Batu bata bekas fondasi candi juga berserakan. Meski demikian, masyarakat setempat tetap menghargai candi itu sebagai peninggalan nenek moyang mereka. Situs itu dikeramatkan warga sebagai tempat berdoa kepada leluhur.

Hasi penelitian
Keberadaan candi untuk kali pertama dilaporkan oleh Schnitger pada 1937 dalam bukunya yang berjudul The Archaeology of Hindoo Sumatra. Selanjutnya ia menyebutkan dari situs tersebut ditemukan arca Awalokiteśwara yang bertangan empat (kini disimpan di Museum Nasional, D-216-247) dan arca Buddha yang belum selesai (kini disimpan di Museum Balaputradewa Palembang). 

Arca Awalokiteśwara yang bertangan empat digambarkan dalam posisi berdiri (berukuran tinggi 192 cm) dan memakai mahkota dengan hiasan Buddha Amithaba. Di bagian punggungnya terdapat tulisan yang berbunyi //daŋ ācāryya syuta//. Arca tersebut adalah Arcaha Mahāyana yang dibuat di tempat setelah keluarga Śailendra berkuasa di Jawa pada abad ke-7–9 Masehi. Berdasarkan bentuk tulisannya berasal dari sekitar abad ke-8 Masehi. Arca Buddha yang belum selesai digambarkan dalam posisi tapak tangan kanan diarahkan ke depan, sedangkan tangan kirinya tertutup jubah. Bagian bawah arca belum selesai dikerjakan. Arca Buddha itu termasuk Buddha Mahāyana yang dibuat di tempat dan mungkin telah ada ketika I-Tsing bermukim di Śrīwijaya.


Gambar 1. Arca candi 
Sumber : Utomo ( 2010, p.155)

Pada 1997 dan 1998 Balai Arkeologi Palembang mengadakan penelitian arkeologi di situs itu. Dari penelitian yang dilakukannya, tim berhasil menemukan struktur fondasi bangunan bata. Namun karena kotak yang digali tidak banyak, atau mungkin keadaan struktur telah rusak, maka bentuk dan ukuran denah bangunan belum dapat diketahui. Lepas dari keadaan situs yang telah rusak, di daerah tersebut pada masa lampau terdapat sekelompok masyarakat yang beragama Buddha. Pada awal  Februari 2014 ada laporan masyarakat akan penemuan benda bersejarah dilakukan penelitian pada pertengahan Maret 2014. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan, menginventarisir dan investigasi penemuan dua cagar budaya di Desa Bingin Jungut.

 Gambar 2. Penelitian situs
Sumber : Putra ( 2014, p.1)

Temuan berikutnya berupa patung kepala naga terjadi pada bulan September 2014. Balai Arkeologi Palembang memastikan hasil temuan merupakan hiasan pada pintu masuk bagian atas candi Bingin Jungut sekitar abad 12 masa Hindu-Budha. Patung berukuran panjang 70 sentimeter dan lebar 16 sentimeter tersebut ditemukan tak jauh dari Sungai Musi pada Senin 10 September 2014 sekitar pukul 10.00 WIB. Ornamen berbentuk kepala singa itu pertama kali ditemukan seorang warga bernama Sutarman. Batu itu terpendam di lahan milik Hamim (68).
  Patung kepala singa
Sumber : Wedya ( 2014, P.1)

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Musirawas, Hamam Santoso menerangkan, pihaknya sudah mengamankan sejumlah temuan dari warga sekitar lokasi selain temuan kepala patung. Temuan yang diamankan itu diantaranya sejumlah bata dan puing-puing dari mahkota kepala patung.


Daftar Pustaka :
Haryadi, S. (2014, September 12). Balai arkeolog sebut patung kepala ada hiasan candi bingin jungut. Sriwijaya Post. Retrieved  September 22, 2016, from http://www.kompas.co.id  

Nababan, H. F. (2010, March 10). Jelajah musi : candi bingin dikeramatkan warga. Kompas Cyber Media. Retrieved  September 22, 2016, from http://www.kompas.co.id  

Putra, Y.M.P. (2014, March 23). Disbudpar investigasi cagar budaya di bingin jungut. Republika News. Retrieved  September 22, 2016, from http://www.palembang.tribunnews.co.id  

Utomo, Bambang Budi, 2014, “Candi Bingin Jungut” dalam Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan (ed.) Candi  Indonesia Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa, Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hlm. 155–156

Wedya, E.N. (2014, September 12). Penemuan batu berbentuk kepala singa hebohkan warga. Okezone News. Retrieved  September 22, 2016, from http://www.nws. okezone.com 

Kamis, 29 September 2016

Situs Beringin Jaya - Kabupaten Musi Rawas Utara - Sumatera Selatan

Kondisi situs
Situs Beringin Jaya secara administratif terletak di Desa Beringin Jaya, Kecamatan Rupit, Kabupaten Musi Rawas Utara, Provinsi Sumatera Selatan. Reruntuhan situs berada di dasar sungai Rupit. Penemuan situs ini terjadi ketika penduduk setempat bernama Rozak melakukan penyelaman pada tanggal 3 Juli 2012. Perkiraan bentuk situs yang terdapat di dasar sungai berupa benteng ataupun candi.
 
Penyelam Temukan Benteng Sriwijaya di Dasar Sungai Rupit - bata2.jpg
Gambar 1. Kondisi situs
Sumber : Fikri ( 2012, P.1)

Hasil penelitian
Batu bata yang berhasil diambil dari situs memiliki ukuran 8 X 18 X 33 cm. Jumlah batu bata yang telah diambil mulai tanggal 3 hingga 8 Juli 2012 ialah  sekitar 40 batubata. Batu bata berwarna coklat, ada yang sudah jadi hitam dan hijau karena lumutan. Ukuran itu jauh lebih besar ketimbang batubata saat ini.
 
Penyelam Temukan Benteng Sriwijaya di Dasar Sungai Rupit - bata.jpg
 Gambar 2. Sisa batu bata situs
Sumber : Fikri ( 2012, P.2)
 
Peneliti Balai Arkeologi Palembang, Kristanti Indriastuti mengatakan, batubata tersebut identik dengan temuan di Candi Lesungbatu dan Candi Tingkip di tepi Sungai Rawas, Musirawas. Sungai Rupit merupakan anak Sungai Rawas. Agus Suryadadi, peneliti dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi, mengatakan, Batu bata itu kemungkinan besar bagian dari bangunan di masa klasik Kerajaan Sriwijaya. Pada temuan candi dan artefak kuno di Sumatera Selatan dan Jambi, keberadaan Kerajaan Sriwijaya ditandai temuan mayoritas Candi Budha. “Namun kami belum bisa pastikan bangunan apa. Bisa jadi candi, bisa juga benteng pertahanan seperti diduga warga setempat,” katanya.
 
Menurut Agus, pada jaman dulu kebiasaan permukiman penduduk dan bangunan tempat ibadah berada di dekat sungai yang merupakan jalur transportasi. Beda dengan sekarang lewat jalur darat. Merujuk pada temuan di Jambi ada Candi Dusun Mudo dekat Sungai Batanghari. Karena terjadi erosi, posisi candi di temukan tepat berada di tepi sungai. Maka perlu dilakukan observasi juga kondisi Sungai Rupit di masa lalu.“Temuan itu akan disurvei dan diteliti lebih lanjut. Sebuah candi ada komponen lain selain batubata, misalnya arca dan keramik yang menandakan itu candi. Begitu pula kalau bangunan itu benteng,” katanya. Ada kemungkinan pula itu bangunan permukiman warga. Seperti kasus di Jambi, batu candi dipergunakan oleh masyarakat jaman dulu (setelah candi tidak difungsikan) sebagai bahan bangunan lain seperti rumah dan bagian makam.kata Agus.

Daftar Pustaka :
Fikri, A.H. (2012, July 9). Penyelam temukan benteng sriwijaya di dasar sungai rupit. Tribun News. Retrieved  September 22, 2016, from http://www.sumsel.tribunews.com











Arkeologi Dengan demikian rasa penasaran masyarakat bisa terjawab,” kata Agus. 

Selasa, 27 September 2016

Candi Jepara / Batu Kebayan / Batu Pengantin - Kabupaten Ogan Komering Ulu - Sumatera Selatan

Kondisi Situs
Candi Jepara berada di Desa Jepara, Kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, Kabupaten Ogan Komering Ulu ( OKU) Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Situs ini terletak di kebun kopi yang leraknya di sebelah barat desa dengan jarak sekitar 700 meter di tepi Danau Ranau. Untuk mencapai lokasi tidak sulit, karena sudah ada jalan beraspal yang menghubungkan Kota Baturaja dan Daerah Wisata Danau Ranau.
Hasil gambar untuk candi kebayan 
Gambar 1. Kondisi situs
Sumber : Masnadi ( 2016, p.1)

Kepala UPTD Dinas Pariwisata Kabupaten (Disbudpar) OKU Selatan Benyamin menceritakan, Candi Batu Kebayan ini merupakan perwujudan dari seorang pengantin perempuan yang dikutuk menjadi batu oleh si Pahit Lidah. "Cerita ini berawal saat seorang pengantin wanita yang diarak oleh rombongannya hendak menuju rumah calon suaminya. Sudah menjadi adat masyarakat setempat kalau pengantin wanita beserta barang benatok atau barang bawaannya berserta calon pengantin diarak ke rumah calon suaminya," Ceritanya. Saat mereka sedang melintas itulah lanjut Benyamin, dari atas puncak Gunung Seminung mereka ditegur oleh si Pahit Lidah. Berhubung jarak antara mereka dan si Pahit Lidah sangat jauh, tidak seorangpun yang mendengar panggilan tersebut. Hal ini membuat si Pahit Lidah marah dan mengatakan kalau mereka semua seperti batu yang tidak mendengar dan tidak menjawab pertanyaannya. "Karena kutukan Pahit Lidah itu, Seketika saja semua orang-orang yang mengiringi calon pengantin wanita tersebut menjadi batu termasuk juga si calon pengantin dan barang-barang bawaannya," ceritanya.

Hasil Penelitian 
Candi Jepara untuk kali pertama dilaporkan penemuannya oleh seorang controllir Belanda beranama G.A. Schouten (NBG 1885:52-53). Dalam laporannya disebutkan bahwa Candi Jepara dibuat dari batu alam dan berukuran 8,1 x 9,6 meter. Di sekitar runtuhan bangunan masih merupakan semak belukar, dan di antara rimbunan semak terdapat batu-batu candi. Candi ini juga terdapat dalam Oudheidkundige Verslag pada 1914 yang menyebutkan adanya candi batu di Desa Jepara di tepi Danau Ranau. Pada 1937, seorang konservator museum di Palembang, melaporkan adanya fondasi bangunan candi dari batu alam. Di sisi timurnya terdapat empat tangga. Profil dindingnya berbentuk oyief (ogives) dan setengah lingkaran. Bangunan candi dari andesit sangat jarang ditemukan di Sumatera (Schnitger, 1937:4). 

Ekskavasi yang dilakukan pada 1984 berhasil menampakkan sisa kaki bangunan tersebut. Bangunan itu pun di beberapa tempat sudah hilang. Bagian kaki bangunan yang tampak masih baik terletak di sisi barat, tetapi kedua ujungnya telah hilang. Bagian kaki yang mengalami kerusakan terparah terdapat di sisi timur. Pada bagian ini yang masih tersisa adalah pintu masuknya. Ukuran bangunan yang dapat diketahui adalah 8,30 x 9,70 meter membujur arah barat-timur. Profil bagian kaki ini adalah sisi genta dan setengah lingkaran. Pada 2008 sudah dilakukan eskavasi dengan hasil kedalaman candi sekitar 2 meter dari permukaan tanah, dengan lebar 7 meter dan panjang 12 meter. Candi berbentuk bangunan segi empat dengan bantuan tersusun rapih penuh profil. Tiap batu ada lubang sebagai pengunci antar batu satu dengan batu yang lainnya.


Gambar 2. Hasil ekskavasi
Sumber : Utomo ( 2014, p.176) 


Pemerian yang dibuat Schnitger berlainan dengan pemerian yang mutakhir, terutama pada ukurannya. Schnitger menyebutkan ukurannya 8,10 x 9,60 meter, sedangkan laporan yang mutakhir menyebutkan 8,30 x 9,70 meter. Perbedaan itu mungkin disebabkan karena pergeseran batu candi yang terjadi karena licinnya tanah tempat berpijaknya bangunan tersebut. Jika dihitung dari kedalaman fondasi, maka dapat diduga bahwa bangunan Candi Jepara tidak disusun secara berkekalan dengan bagian badan dan atap bangunan. Dengan kata lain, bangunan Candi Jepara berbentuk semacam teras yang tidak mempunyai dinding (bilik) dan atap bangunan.

Berdasarkan pengamatan pada bentuk hiasannya, menunjukkan gejala bahwa Candi Jepara belum selesai dikerjakan. Gejala itu terlihat pada bagian pintu masuk bangunan berupa goresan-goresan yang mengarah pada bentuk lengkungan. Goresan-goresan tersebut memberi kesan bahwa bangunan tersebut belum selesai dikerjakan.

Petunjuk pasti yang dapat menentukan pertanggalan bangunan Candi Jepara belum ditemukan. Petunjuk itu antara lain berupa prasasti. Namun, petunjuk pertanggalan mengenai bila didirikannya bangunan Candi Jepara dapat diperoleh dengan cara mengadakan perbandingan langgam dengan candi-candi lain yang sudah diketahui pertanggalannya. Perbedaan langgam dapat dilihat pada profil kaki bangunan.

Pada umumnya, bangunan candi yang dibangun pada masa awal (misalnya candi-candi di Kompleks Percandian Dieng dan Kompleks Percandian Gedongsongo) mempunyai bentuk kaki bangunan yang tinggi, tanpa hiasan, dan berpelipit sederhana. Pada perkembangan selanjutnya, bentuk pelipit yang sederhana itu berubah menjadi bentuk sisi genta, setengah lingkaran, dan mempunyai hiasan. Pada akhir zaman klasik Indonesia (sekitar abad ke-15 Masehi, bentuk sisi genta dan setengah lingkaran berubah menjadi bentuk bersegi-segi (misalnya pada Candi Gedingsuro di Palembang dan candi-candi dari masa Majapahit). Jika diteliti bentuk profil kaki bangunan candi Jepara yang mempunyai pelipit sisi genta dan setengah lingkaran, maka dapat diduga bahwa Candi Jepara berasal dari sekitar abad ke-9-10 Masehi. Bentuk profil seperti itu yang ditemukan pada candi Plaosan, Candi Sari, dan Candi Sambisari di Jawa Tengah.

Daftar Pustaka :

Masnadi ( 2016, February 10). Situs candi kabayan di okus ini kondisinya memprihatinkan. Rakya Merdeka Online Group. Retrieved September 22, 2016, from http://www.rmolsumsel.com

Sumatera Express. (2013, January 7). Candi kabayan perlu dipugar. Harian Pagi Sumatera Express. Retrieved  September 22, 2016, from http://www.sumeks.co.id  

Utomo, Bambang Budi, 2014, “Candi Jepara”, dalam Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan (ed.) Candi  Indonesia Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa, Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hlm. 176–177.


Candi Lesung Batu / Bukit Candi - Kabupaten Musi Rawas Utara - Sumatera Selatan

Kondisi Situs
Candi Lesung Batu terletak di Desa Lesung Batu, Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas Utara ( Muratara) , Provinsi Sumatra Selatan. Lokasi candi ini bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Perjalanan bisa dilakukan melalui jalan lintas Sumatra, dari arah Lubuk Linggau menuju Sarolangun, Jambi. Ketika sampai di kilometer 93, akan terlihat sebuah bukit kecil di sebelah utara jalan raya. Dengan menyusuri jalan setapak sambil berjalan kaki sepanjang 180 meter akan terlihat candi tersebut.

Balai Arkeolog Lanjutkan Penelitian Candi Lesung Batu.
Gambar 1. Keadaan lokasi
Sumber :Martin, S. ( 2014, p.1)
 
Candi Lesung Batu merupakan tempat ibadah Umat Hindu. Ini berdasarkan temuan yoni, yang menunjukkan latar belakang keagamaan bangunan candi ialah agama Hindhu. Candi ini diperkirakan dibangun sekitar abad 10 Masehi, atau sejaman dengan Kerajaan Sriwijaya. Ini menunjukkan ritual Hindu tetap berjalan dalam wilayah Kerajaan Sriwijaya yang beragama Buddha. Diduga candi ini merupakan daerah penyangga perekonomian Sriwjaya sebab kegiatan perdagangan dilakukan oleh pusat kerajaan di palembang dengan daerah di pedalaman.

Keberadaan candi ini merupakan daya tarik dan potensi wisata bagi Kabupaten Muratara. Lokasi candi sering didatangi pengunjung dari berbagai daerah, seperti Jambi, Lubuklinggau, dan Bengkulu. Bupati Muratara, Akisropi Ayub mengatakan, Candi Lesung Batu merupakan aset penting dan akan memberikan perlindungan karena sudah menjadi aset daerah dan nasional. Ia menyadari masih terdapat kendala karena terbatasnya anggaran untuk memelihara cagar budaya ini. Harapannya ialah pemerintah pusat memberikan perhatian lebih pada situs tersebut. Yang penting kita lakukan pengamanan dan perlindungan barang-barang prasejarah ini.

Hasil Penelitian
Penelitian kali pertama dilakukan Pusat Penelitian Balai Arkeologi Nasional pada tahun 1990, bermula dari adanya penemuan batu tufa dengan lubang di tengahnya. Benda ini ditemukan di tepi sungai Rawas di Desa Lesung Batu Tua. Menurut keterangan penduduk, benda ini dulunya dipakai pencari emas untuk menumbuk batuan yang mengandung emas. Tim kemudian berusaha mencari informasi mengenai tinggalan lain. Usaha ini berhasil memperoleh informasi dari penduduk mengenai ditemukannya sejumlah besar bata dan penamaan Bukit Candi pada lokasi tersebut. Keyakinan adanya runtuhan candi diperoleh pada tahun 1991 ketika ada laporan penemuan yoni dari bukit candi. Yoni ditemukan oleh Abdullah, pendudukan Desa Lesung Batu yang tinggal di bukit candi, ketika menggali tanah diantara runtuhan bata dan batu napal ( breksi patahan ).

Pada tahun 1992, tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mulai melakukan penelitian. Rupanya penduduk dengan sengaja melakukan penggalian di tempat ditemukannya yoni. Bagian yang digali cukup luas. Penduduk menggali bagian dalam ruangan bangunan candi. Bagian dinding yang masih utuh terletak pada sisi barat dan selatan, sedangkan dua sisi lainnya telah rusak. Tim kemudian mengupas bagian luar dinding kaki bangunan. Hasilnya diketahui pintu masuk candi menghadap ke arah tanah rendah yang diduga merupakan bekas sungai.

Gambar 2. Bangunan candi dari arah barat laut di tahun 1992
Sumber : Utomo ( 2014, p. 29)

Balai Arkeologi Palembang melakukan penggalian pertama di tahun 1993 yang berlanjut di tahun 1996, dan 2000.  Pada  tahun 2013, tim Balai Arkeologi Palembang melakukan ekskavasi di situs itu dan berhasil menemukan fondasi bangunan candi yang terbuat dari batu bata. Tanggal 6 Februari hingga 12 Februari 2014, tim Balai Arkeologi Palembang kembali melakukan ekskavasi. Tim arkeolog diketuai Sondang M siregar, dengan anggota Waty Yusmaini, Retno Purwanti, Kristantina, Indrastuti, Yusuf Firdaus, Untung, dan Ismayanti.

 CANDI MURATARA ABAD KE 10 DITEMUKAN
Gambar 3.Sisa batu candi
Sumber : Tribun Sumsel ( 2014, p.1)

Penjelasan lebih mendalam mengenai bangunan situs dibagi menjadi :
A. Bangunan Bata
 Petunjuk adanya sisa bangunan candi ialah ditemukan batu bata yang rata-rata berukuran 6 x 8 x 17 sm. Di tengah reruntuhan bangunan terdapat lubang dengan ukuran 3 x 3 meter dengan kedalaman sekitar 1 meter. Penelitian yang dilakukan tahun 1993 mendapati pula telah dilakukan penggalian liar seperti tahun 1990 dengan ukuran lubang penggalian sekitar 1,5 meter x 1,5 meter dengan kedalaman lebih dari 3 meter. Posisi yoni telah digeser ke arah sudut timur laut. Temuan sisa bangunan merupakan ruang bagian dalam (garbhagrha) dengan ukuran 2,80 meter x 2,83 meter. Denah ruangan berbentuk bujur sangkar Ekskavasi yang dilakukan tahun 1992 menemukan sisa pintu masuk di sebelah timur. Di sisi ini, sampai sepanjang kebih dari 2 meter dari dinding, masih terus berlanjut ke arah timur. Karena di sebelah timur terdapat rumpun bambu, maka penelusuran pintu belum dapat dilaksanakan.

 
Gambar 4. Yoni dari situs
 Sumber : Utomo ( 2014, p. 33)

Gejala lain ialah tidak ditemukan lantai bangunan. Pada ruang utama candi biasanya terdapat lantai yang palig tidak terbuat dari bahan yang sama dengan dindingnya. Kemungkinan tidak ditemukannya lantai paling tidak terdapat dua penyebab. Penyebab pertama, lantai telah rusak akibat penggalian liar, dan kedua, memang tidak memiliki lantai. Apabila berlantai, meski tidak terdapat sisa, setidaknya penduduk yang melakukan penggalian liar akan memberikan informasi tentang lantai. Keterangan ini pun tidak ada. 

Penelitian tahun 1993 membuka dua kotak uji (testpit) di sebelah timur bangunan, berjarak lebih kurang 10 meter. Kotak uji ( TP) 1 dibuka pada sebuah gundukan atau tanah umbuh, dengan ukuran kotak 1 x 3 meter, yang membujur utara-selatan. Kotak TP 2 dibuka disebelah timur laut kotak TP 1, dengan jarak lebih kurang 13 meter. Kotak berukuran 2 x 2 meter. Kotak dibuka berdasarkan susunan bata yang dijumpai pada survei permukaan. Pada kedalaman lebih kurang 40 cm di sisi utara kotak TP 1 ditemukan pecahan-pecahan bata yang bertumpuk, sedangkan di sisi selatannya yang permukaannya lebih tinggi ( di atas tanah tumbuh ), sampai kedalaman 120 sm tidak ditemukan pecahan bata sama sekali. Sampai kedalaman 70 sm di sisi utara kotak, tumpukan pecahan bata masih ditemukan. Lapisan tanah di atas tumpukan pecahan bata berupa tanah bewarna coklat kekuningan, sedangkan di bawah tumpukan pecahan bata, tanah berwarna coklat kehitaman dan di bawahnya terdapat lagi tanah berwarna coklat kekuningan.

Kotak TP 2 dibuka pada permukaan tanah yang lebih rendah dibandingkan dengan keletakan kotak TP 1. Kotak digali smpai kedalaman 85sm dari permukaan taanah. Kotak digali sampai kedalaman 85 sm dari permukaan tanah. Pada kedalaman sekitar 25sm ditemukan pecahan-pcahan bata yang menyebar ke seluruh dasar kotak. Di bawah pecahan bata terdapat susunan bata setebal satu lapis di kwadran timur luar kotak. Pada kedalaman ini ditemukan pecah-pecahan gerabah, dan keramik baru. Di bawah susunan bata ditemukan lagi pecahan botol, pecahan keramik baru, dan sebuah pecahan keramik Cina. Lapisan tanah mulai dari permukaan terdiri dari humus, tanah coklat kehitaman, dan di bawah susunan bata diketahui bahwa tanah di kotak TP 2 telah teraduk (distrurb) oleh kegiatan penduduk sekarang.

Pada tahun 2013, tim Balai Arkeologi Palembang melakukan ekskavasi di situs itu dan berhasil menemukan fondasi bangunan candi yang terbuat dari batu bata. Fondasi itu berbentuk persegi panjang dengan ukuran 8 meter x 10 meter. Di bagian tengah fondasi itu terdapat ruang terbuka dengan ukuran 2,7 meter x 2,9 meter. Di sisi timur candi terdapat sisa-sisa bangunan tangga sehingga diketahui candi tersebut memiliki pintu di bagian timur. Penelitian itu juga menemukan struktur batu napal, sejenis batu lempung yang mengandung kapur yang berjarak 4 meter sebelah tenggara fondasi candi. Struktur batu napal itu diduga sebagai sisa sebuah bangunan.

B. Bangunan Batu Napal
Survei yang dilaksanakan menemukan dua struktur bangunan di sebelah barat laut, jarak struktur bangunan satu dengan struktur bangunan lain, lebih kurang 100 meter. Struktut bangunan pertama berupa susunan batuan napal, berbentuk belok-belok batu yang dipahat, dengan ukuran belok yang tersebar 60 x 30 x 28 sm, sedangkan yang terkecil 20 x 18 x 15 sm. Struktur  ini berada 3 meter di bagian tepi timur tanah tumbuh. Untuk mengetahui lebih jauh, dibuka parit gali (trench), yaitu parit gali (pg) 1, dengan ukuran 80 x 640 sm. Parit 1 digali mengikuti struktur yang membujur timur laut-barat daya, sampai pada kedalaman 30sm dari permukaan tanah. Hasil ekskavasi memperlihatkan bahwa susunan batu napal ini hanya satu lapis dan memanjang dengan arah timur laut- bara daya, terdiri dari 11 balok batu napal yang disusun. Kedua ujung struktur batu napal ini masih berlanjut, seperti diketahui dari hasil pengeboran dengan menggunakan bor tangan (handdrill). Diduga struktur ini dibuat untuk memagari gundukan atau tanah tumbuh yang mempunyai garis tengah 6 meter.

Struktur bangunan berbahan batu napal yang kedua berada terpisah di sebelah barat laut struktur yang pertama, dengan jarak sekitar 100 meter. Melalui survei permukaan dijumpai tiga balok batu napal yang di antaranya memiliki lubang persegi empat. Untuk memperjelas bentuk struktur yang dibayangkan, dilakukan ekskavasi dengan membuat pg 2 dan pg 3. Pg 2 berukuran 100 x 675 sm membujur barat laut - tenggara mengikuti sebaran batu napal. Pg 3 berukuran 100 x 500 sm, membujur timur laut - barat daya. Ujung kedua parit ini bertemu sehingga membentuk huruf L. Pg 2 digali sampai kedalaman 30 sm dan ditemukan susunan batu napal satu lapis yang memanjang dengan orientasi barat laut- tenggara. Di parit gali ditemukan dua belok batu napal yang memiliki lubang persegi di permukannya. Pg 3, pada struktur batu napal yang terorientasi timur laut - barat daya, terdapat 4 balok batu napal yang memiliki lubang persegi. Batu yang memiliki lubang persegi ini diduga sebagai umpak, tempat meletakkan tiang bangunan. Dua umpak lainnya di permukaan tanah.

Dari hasil ekskavasi pada struktur bangunan 2, diketahui adanya sudut dari dua sisi struktur batu napal. Sisi yang membujur timur laut - barat daya panjang 5 meter, sedangkan sisi tenggara - barat lautnya panjang 6,5 meter dan tampak masih terus berlanjut ke arah tenggara. Diduga struktur bangunan 3 ini berdenah bujur sangkar berukuran 7 x 7 meter. Dengan ditemukan umpak- umpak, diduga bangunan 3 merupakan bangunan yang menggunakan tiang. Tetapi tidak diketahui apakah bangunan tersebut merupakan bangunan tempat tinggal atau hanya sisa pagar pembatas. Bila bangunan tersebut adalah bangunan tempat tinggal, tentunya memiliki atap. Selain itu akan ditemukan pula alat-alat perlengkapan hidup, seperti wadah-wadah ari keramik dan tembikar. Tetapi dalam survei tidak ditemukan pecahan keramik dan tembikar. Bila bangunan itu bukan bangunan tempat tinggal, mungkin hanya bangunan pembatas. Umpak-umpak yang tersusun dengan jarak 60 sm merupakan tempat memancang tiang-tiang pagar yang terbuat dari kayu, masalahnya adalah bangunan apakah yang memiliki pagar batu dengan tiang-tiang dari kayu itu ?

Penelitian lanjutan pada tahun 2014 ini untuk mengungkap tata ruang situs candi. Hasilnya, tim menemukan sebaran batu-batu napal dan batu kerakal yang berjarak 40 meter sebelah selatan candi. Dia menambahkan, bebatuan itu diduga merupakan sisa fondasi sebuah bangunan. Dugaan itu diperkuat oleh keberadaan batu-batu kerakal yang biasa digunakan untuk memadatkan tanah dan memperkokoh bangunan di atasnya. Di lokasi itu, tim menemukan balok-balok batu napal dalam posisi berbaris dari utara ke selatan. Beberapa balok batu itu memiliki lubang persegi empat di bagian tengah. Lubang itu diduga sebagai alas tiang kayu. Sisa bangunan lain ditemukan berjarak 400 meter sebelah barat daya fondasi candi. Menurut Ketua Tim Arkeolog, Sondang M Siregar penemuan lain yang didapatkan ialah fragmen keramik Cina abad ke 10, dan tempayan kubur yang terbuat dari tembikar sebanyak tiga buah. Satu diantaranya masih dalam kondisi baik. Tempayan kubur ini ditemukan sekitar 200 meter sebelah selatan pondasi candi. Tempayan kubur ini memerlihatkan bahwa, pada masa itu keagamaan Hindu sudah ada ritual atau tradisi penguburan dengan tempayan. Tempayan-tempayan yang ditemukan ini berdiameter sekitar 35 cm,” katanya.


Penelitian Panjang Candi Lesung Batu Rawas Ulu 
Gambar 5. Hasil ekskavasi struktur batu napal tahun 2014
Sumber : Sumatera Ekspress ( 2014, p.1)
 
Dengan temuan terbaru itu, sampai sekarang sudah ada sisa empat bangunan yang ditemukan di Lesung Batu. Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti mengatakan, penelitian lanjutan itu difokuskan pada pencarian bangunan-bangunan di sekitar Candi Lesung Batu. Pencarian dilakukan karena Lesung Batu diyakini sebagai kompleks percandian yang memiliki sejumlah bangunan. ”Kami berupaya mencari tahu tata ruang kompleks percandian ini,” katanya.


Daftar Refrensi :
Candi lesung batu - musi rawas, sumatera selatan. (2012). Retrieved September, 22, 2016, from http://warnainfo.blogspot.co.id
Kompas. (2014, February 12). Candi lesung batu : sisa dua bangunan candi ditemukan. Kompas Cyber Media. Retrieved  September 22, 2016, from http://www.kompas.co.id 

Martin, S. (2014, February 9). Balai arkeolog lanjutkan penelitian candi lesung batu. Tribun News. Retrieved  September 22, 2016, from http://www.sumsel.tribunews.com

Sumatera Express. (2014, March 3). Ungkap tata ruang situs candi. Harian Pagi Sumatera Express. Retrieved  September 22, 2016, from http://www.sumeks.co.id  

Tribun Sumsel. (2014, February 15). Candi muratara abad ke 10 ditemukan. Tribun News. Retrieved  September 22, 2016, from http://www.sumsel.tribunews.com

Utomo, Bambang Budi, 2014, “Bangunan candi di hulu sungai rawas”, dalam Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan (ed.) Candi  Indonesia Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa, Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hlm. 26–40.