PROVINSI SUMATERA UTARA
Kota Medan
Sumber (dengan perubahan seperlunya) :
Laporan Penelitian Situs Kota Cina
http://www.dnaberita.com/berita-90761-situs-kota-cina-ingin-dijadikan-destinisasi-wisata-sejarah--budaya.html
http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/293741-video--ekskavasi-di-situs-kota-cina-medan
http://www.youtube.com/watch?v=gSGfkSwvyJE
Pemetaan Terhadap Delapan Situs Dunia di Sumatera Utara
Kota Medan
Situs Kota Cina secara administratif terletak di sebelah barat Sungai Deli tepatnya di Jalan Kota Cina, Kelurahan Paya Pasir , Kecamatan Medan Marelan , Kota Medan. Situs Kota Cina diketahui pada akhir abad 19 pada waktu kunjungan Anderson dan kemudian pada tahun 1875 Halewijn (1876) mencatatnya dengan nama Kota Cina, pada saat itu terdapat puluhan rumah tangga yang dikontrol oleh Sultan Deli di Labuhan. Kampung Terjun dan Hamparan Perak terletak hanya beberapa kilometer disebelah Barat dan disebelahnya terdapat Suku Duabelas Kota yang dikontrol oleh Kejuruan Hamparan Perak yakni seorang Melayu Karo
(Veth, 1877).
Catatan awal keberadaan kawasan ini ditemukan dari riwayat perjalanan John Anderson, seorang Scotisch yang diutus dari Penang pada tahun 1823 dalam bukunya: ”Mission to the East Coast of Sumatra and Malay Penisula” yang menyebutkan bahwa di daerah tersebut terdapat batu bertulis yang masyarakat tidak dapat membaca. Anderson juga mengingatkan akan pentingnya Sei Deli sebagai jalur pelayaran sungai (riverine) dan pintu masuk (entrance)
menghubungkan dataran tinggi (hinterland) dan lembah Deli. Catatan Anderson tersebut dipublikasikan pada Tijdschrift van het Bataviasche Genootshap yang pada tahun 1882, yakni 20 tahun setelah pengusaha Belanda menginjakkan kakinya di Deli, controleur Labuhan Deli berkeinginan menyelidiki inskripsi sebagaimana yang dimaksud Anderson tersebut tetapi tidak menemukan batu bertulis itu. Namun demikian, sehubungan dengan ekspansi perkebunan Deli di kawasan ini, maka sejalan dengan banyaknya artifak seperti mata uang, archa tembikar, dan keramik dari Cina itu, maka pada tahun 1886 oleh Halewijn dicatat sebagai Kota Cina kemudian pada tahun 1914 dicatat lagi dengan resmi pada Oudheidkundig Verslaag (laporan Dinas Kepurbakalaan Belanda).
Situs Kota Cina diyakini sebagai cikal bakal terbentuknya Kota Medan sekarang yang berasal dari permulaan abad ke-12. Hal mana ditunjukkan oleh banyaknya peninggalan atau artifak arkeologis (archeological evidence) yang tertuju pada satu era yakni sejak abad ke-12 hingga awal abad ke-14, seperti eartenware fragmen (tembikar), porcelain fragmen (keramik), coin (mata uang), glass fragmen (gelas), brickstone fragmen (Batubata berfragmen candi), archa(statue), tulang belulang, atau bahkan sisa-sisa perahu tua (ships ruins). Tentang kondisi dan keadaan kawasan Medan sebelum awal abad-12 ini belum banyak diketahui.
Dalam catatan McKinnon (1984) diketahui bahwa, Kota Cina pada awalnya adalah daerah yang sangat dekat dengan laut, merupakan kawasan yang terpengaruh pasang surut, dan ber-rawa (lahan basah). Namun karena proses sedimentasi yang bergerak cepat setinggi 2 cm per tahun menjadikan kawasan ini menjadi daratan yang jauh dari laut. Bila demikian, terdapat pengendapan delta setinggi 120-140 cm selama 800 tahun silam. Hal ini dibuktikan dengan lapisan tanah (statigrafi) berupa letak lapisan kerang dan kedalaman (speed) ekskavasi yang pada umumnya setelah kedalam 140 cm, ekskavasi dinyatakan steril dalam
arti tidak ditemukan lagi artifak-artifak lain.
Berdasarkan catatan-catatan Tiongkok misalnya, diketahui bahwa beberapa penguasa di kawasan pesisir timur Sumatra (Sumatra east coast) ini telah melakukan kontak niaga dengan China ataupun dengan cara membayar upeti. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Wolters, (1970), mengemukakan bahwa nama Kota Cina tidak banyak diketahui dari catatan
historis. Namun demikian, nama Kota Cina sangat akrap dalam ingatan kolektif masyarakatnya (folks memory) yang menunjuk pada ’pendudukan orang China’ (afortified settlement occupied by Chinese).
Demikian pula dalam catatan India Selatan yang menyebut nama pulau ini dengan Swarnabhumi atau swarnadwipa yang berarti ”bumi emas”. Hal ini dikarenakan banyaknya produksi emas yang ditemukan dan diperdagangkan di sepanjang Pulau Sumatra, seperti di Tamiang, Singkil, Mandailing dan juga di Dairi.
Aktifitas penelitian berupa ekskavasi dilakukan pertama sekali oleh Arkeolog berkebangsaan Inggris yakni Edwards McKinnon sejak tahun 1972hingga 1979. Sebahagian hasil penelitian tersebut telah terangkum dalam disertasi doktoralnya di Cornell University tahun 1984. Dikemukakan bahwa hasil analisis terhadap material ekskavasi menunjukkan adanya indikasi hubungan penting antara India Selatan dan China Selatan. Oleh karena, berdasarkan sumber-sumber historis itu dikemuakan bahwa eksistensi masyarakat China di pesisir timur Sumatra menunjukkan adanya aktifitas kemaritiman di kawasan ini. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 10 Juli-10 Agustus tahun 1979 yang dilaksanakan oleh Puslitarkenas yang mengemukakan bahwa Situs kota Cina merupakan pelabuhan kuno yang banyak dikunjungi pedagang asing sekitar abad 12-14 masehi. Komoditas-komoditas alam yang diperdagangkan adalah seperti benzoin, champhor dan emas, damar, rotan dan lain-lain yang dipertukarkan dengan tembikar, keramik, dan gelas.
Adanya pemukiman masyarakat di wilayah itu, ditunjukkan oleh temuan batubata (brickstone) yang diyakini merupakan bangunan sakral seperti biara atau candi. Hal ini juga dikuatkan dengan temuan lempengan emas yang digunakan sebagai benda upacara. Demikian pula struktur pagar yang terbuat dari batubata yang melindungi bangunan sakral tersebut.
Sejumlah data arkeologis yang berhasil dihimpun melalui penelitian antara tahun 1973 hingga 1989 terhadap situs Kota Cina antara lain berupa sisa struktur bangunan keagamaan yang sekonteks dengan temuan 2 arca Budha dan 2 arca Hindu, sisa-sisa aktivitas pertukangan logam, berbagai artefak seperti keramik, tembikar, manik-manik, benda-benda berbahan kaca, mata uang logam, sisa papan perahu. Berdasarkan banyaknya temuan arkeologis tersebut diperkirakan pada masa lalu situs Kota Cina berperan sebagai pelabuhan di jalur perdagangan kawasan pesisir timur Sumatera (Koestoro, 2004). Penelitian terakhir dilakukan oleh Pemkot Medan dan peneliti dari Perancis dan pada 6 Februari 2012 hingga Maret 2013. Pada Tanggal 5 Juni 2013, Pelaksana Tugas Wali Kota Medan Drs H Dzulmi Eldin MSi ketika membuka acara Temu Diskusi Pembangunan Kota `dengan mengusuing tema Situs Kota Cina Medan Abad 12-16 Masehi Bukti Sejarah, Perlindungan dan Pengembangannya di Hotel Soechi International Medaningin menjadikannya sebagai kawasan destinasi wista dan budaya.
Beberapa asumsi diajukan oleh para peneliti berkaitan dengan masa hunian dan ragam kegiatan/aktifitas masa lalu di situs Kota Cina, salah satunya adalah yang menyatakan bahwa aktivitas budaya masa lalu situs ini berlangsung pada kisaran abad ke-12 M hingga ke-14 M dan diduga berfungsi sebagai pusat niaga dengan jalinan dagang melalui pantai dan sungai. Pertanggalan relatif masa hunian tersebut diperoleh antara lain melalui carbon datting terhadap papan kayu perahu yang ditemukan di situs Kota Cina yang menunjukkan angka relatif abad ke-12 M hingga ke-13 M (Wibisono, 1982). Pertanggalan relatif tersebut dikuatkan dengan hasil analisis terhadap temuan arca Budha yang ditemukan di Kota Cina, yang ditinjau secara ikonografis menunjukkan kesamaan dengan gaya seni arca-arca dari Tanjore (India Selatan) yang berasal dari abad ke-12 M hingga ke-14 M (Suleiman, 1981).
Analisis terhadap temuan keramik menunjukkan bahwa sebagian besar keramik yang ditemukan di situs Kota Cina berasal dari abad ke-12 M hingga ke-14 M. Jenis keramik yang paling banyak ditemukan di situs Kota Cina adalah jenis Celadon (green-glazed) yakni jenis keramik yang memiliki ciri-ciri umum berwarna hijau dengan bahan dasar utama stoneware. Produksi jenis keramik celadon mencapai puncaknya pada masa dinasti Sung di abad ke-11 M hingga ke-12 M, diproduksi masal untuk memenuhi kebutuhan perdagangan dan ekspor.(Ambary, 1984).
Jenis keramik lain yang ditemukan di situs Kotacina adalah keramik Chingpai (white glaze wares) yang merupakan jenis keramik dengan bahan dasarnya menggunakan stoneware dan glasir putih/bening yang dihasilkan dari mineral silika yang kadang mengalami efek samping dari pembakaran pada suhu yang tinggi berupa retakan halus pada permukaan wadah yang sering disebut pecah seribu. Keramik Chingpai diproduksi pada masa dinasti Sung hingga Dinasti Yuan berkisar antara abad ke-12 M hingga akhir abad ke-14 M. Di situs Kota Cina juga terdapat keramik Te Hua yakni jenis keramik yang mirip dengan keramik Chingpai, perbedaannya pada tingkat kekasaran perekat bahan serta kurang baiknya proses pembentukan akhir. Keramik ini banyak diproduksi pada dinasti Yuan sekitar abad ke-14 M (Ambary, 1984). Jenis lainnya adalah Coarse stone wares, adalah jenis keramik yang masih kasar dalam proses pembentukannya sehingga butiran pada bahan dasar yang berupa stoneware masih nampak, yang memberi kesan kasar bada bagian badan wadah.
(Veth, 1877).
Catatan awal keberadaan kawasan ini ditemukan dari riwayat perjalanan John Anderson, seorang Scotisch yang diutus dari Penang pada tahun 1823 dalam bukunya: ”Mission to the East Coast of Sumatra and Malay Penisula” yang menyebutkan bahwa di daerah tersebut terdapat batu bertulis yang masyarakat tidak dapat membaca. Anderson juga mengingatkan akan pentingnya Sei Deli sebagai jalur pelayaran sungai (riverine) dan pintu masuk (entrance)
menghubungkan dataran tinggi (hinterland) dan lembah Deli. Catatan Anderson tersebut dipublikasikan pada Tijdschrift van het Bataviasche Genootshap yang pada tahun 1882, yakni 20 tahun setelah pengusaha Belanda menginjakkan kakinya di Deli, controleur Labuhan Deli berkeinginan menyelidiki inskripsi sebagaimana yang dimaksud Anderson tersebut tetapi tidak menemukan batu bertulis itu. Namun demikian, sehubungan dengan ekspansi perkebunan Deli di kawasan ini, maka sejalan dengan banyaknya artifak seperti mata uang, archa tembikar, dan keramik dari Cina itu, maka pada tahun 1886 oleh Halewijn dicatat sebagai Kota Cina kemudian pada tahun 1914 dicatat lagi dengan resmi pada Oudheidkundig Verslaag (laporan Dinas Kepurbakalaan Belanda).
Situs Kota Cina diyakini sebagai cikal bakal terbentuknya Kota Medan sekarang yang berasal dari permulaan abad ke-12. Hal mana ditunjukkan oleh banyaknya peninggalan atau artifak arkeologis (archeological evidence) yang tertuju pada satu era yakni sejak abad ke-12 hingga awal abad ke-14, seperti eartenware fragmen (tembikar), porcelain fragmen (keramik), coin (mata uang), glass fragmen (gelas), brickstone fragmen (Batubata berfragmen candi), archa(statue), tulang belulang, atau bahkan sisa-sisa perahu tua (ships ruins). Tentang kondisi dan keadaan kawasan Medan sebelum awal abad-12 ini belum banyak diketahui.
Dalam catatan McKinnon (1984) diketahui bahwa, Kota Cina pada awalnya adalah daerah yang sangat dekat dengan laut, merupakan kawasan yang terpengaruh pasang surut, dan ber-rawa (lahan basah). Namun karena proses sedimentasi yang bergerak cepat setinggi 2 cm per tahun menjadikan kawasan ini menjadi daratan yang jauh dari laut. Bila demikian, terdapat pengendapan delta setinggi 120-140 cm selama 800 tahun silam. Hal ini dibuktikan dengan lapisan tanah (statigrafi) berupa letak lapisan kerang dan kedalaman (speed) ekskavasi yang pada umumnya setelah kedalam 140 cm, ekskavasi dinyatakan steril dalam
arti tidak ditemukan lagi artifak-artifak lain.
Berdasarkan catatan-catatan Tiongkok misalnya, diketahui bahwa beberapa penguasa di kawasan pesisir timur Sumatra (Sumatra east coast) ini telah melakukan kontak niaga dengan China ataupun dengan cara membayar upeti. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Wolters, (1970), mengemukakan bahwa nama Kota Cina tidak banyak diketahui dari catatan
historis. Namun demikian, nama Kota Cina sangat akrap dalam ingatan kolektif masyarakatnya (folks memory) yang menunjuk pada ’pendudukan orang China’ (afortified settlement occupied by Chinese).
Demikian pula dalam catatan India Selatan yang menyebut nama pulau ini dengan Swarnabhumi atau swarnadwipa yang berarti ”bumi emas”. Hal ini dikarenakan banyaknya produksi emas yang ditemukan dan diperdagangkan di sepanjang Pulau Sumatra, seperti di Tamiang, Singkil, Mandailing dan juga di Dairi.
Aktifitas penelitian berupa ekskavasi dilakukan pertama sekali oleh Arkeolog berkebangsaan Inggris yakni Edwards McKinnon sejak tahun 1972hingga 1979. Sebahagian hasil penelitian tersebut telah terangkum dalam disertasi doktoralnya di Cornell University tahun 1984. Dikemukakan bahwa hasil analisis terhadap material ekskavasi menunjukkan adanya indikasi hubungan penting antara India Selatan dan China Selatan. Oleh karena, berdasarkan sumber-sumber historis itu dikemuakan bahwa eksistensi masyarakat China di pesisir timur Sumatra menunjukkan adanya aktifitas kemaritiman di kawasan ini. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 10 Juli-10 Agustus tahun 1979 yang dilaksanakan oleh Puslitarkenas yang mengemukakan bahwa Situs kota Cina merupakan pelabuhan kuno yang banyak dikunjungi pedagang asing sekitar abad 12-14 masehi. Komoditas-komoditas alam yang diperdagangkan adalah seperti benzoin, champhor dan emas, damar, rotan dan lain-lain yang dipertukarkan dengan tembikar, keramik, dan gelas.
Adanya pemukiman masyarakat di wilayah itu, ditunjukkan oleh temuan batubata (brickstone) yang diyakini merupakan bangunan sakral seperti biara atau candi. Hal ini juga dikuatkan dengan temuan lempengan emas yang digunakan sebagai benda upacara. Demikian pula struktur pagar yang terbuat dari batubata yang melindungi bangunan sakral tersebut.
Sejumlah data arkeologis yang berhasil dihimpun melalui penelitian antara tahun 1973 hingga 1989 terhadap situs Kota Cina antara lain berupa sisa struktur bangunan keagamaan yang sekonteks dengan temuan 2 arca Budha dan 2 arca Hindu, sisa-sisa aktivitas pertukangan logam, berbagai artefak seperti keramik, tembikar, manik-manik, benda-benda berbahan kaca, mata uang logam, sisa papan perahu. Berdasarkan banyaknya temuan arkeologis tersebut diperkirakan pada masa lalu situs Kota Cina berperan sebagai pelabuhan di jalur perdagangan kawasan pesisir timur Sumatera (Koestoro, 2004). Penelitian terakhir dilakukan oleh Pemkot Medan dan peneliti dari Perancis dan pada 6 Februari 2012 hingga Maret 2013. Pada Tanggal 5 Juni 2013, Pelaksana Tugas Wali Kota Medan Drs H Dzulmi Eldin MSi ketika membuka acara Temu Diskusi Pembangunan Kota `dengan mengusuing tema Situs Kota Cina Medan Abad 12-16 Masehi Bukti Sejarah, Perlindungan dan Pengembangannya di Hotel Soechi International Medaningin menjadikannya sebagai kawasan destinasi wista dan budaya.
Beberapa asumsi diajukan oleh para peneliti berkaitan dengan masa hunian dan ragam kegiatan/aktifitas masa lalu di situs Kota Cina, salah satunya adalah yang menyatakan bahwa aktivitas budaya masa lalu situs ini berlangsung pada kisaran abad ke-12 M hingga ke-14 M dan diduga berfungsi sebagai pusat niaga dengan jalinan dagang melalui pantai dan sungai. Pertanggalan relatif masa hunian tersebut diperoleh antara lain melalui carbon datting terhadap papan kayu perahu yang ditemukan di situs Kota Cina yang menunjukkan angka relatif abad ke-12 M hingga ke-13 M (Wibisono, 1982). Pertanggalan relatif tersebut dikuatkan dengan hasil analisis terhadap temuan arca Budha yang ditemukan di Kota Cina, yang ditinjau secara ikonografis menunjukkan kesamaan dengan gaya seni arca-arca dari Tanjore (India Selatan) yang berasal dari abad ke-12 M hingga ke-14 M (Suleiman, 1981).
Analisis terhadap temuan keramik menunjukkan bahwa sebagian besar keramik yang ditemukan di situs Kota Cina berasal dari abad ke-12 M hingga ke-14 M. Jenis keramik yang paling banyak ditemukan di situs Kota Cina adalah jenis Celadon (green-glazed) yakni jenis keramik yang memiliki ciri-ciri umum berwarna hijau dengan bahan dasar utama stoneware. Produksi jenis keramik celadon mencapai puncaknya pada masa dinasti Sung di abad ke-11 M hingga ke-12 M, diproduksi masal untuk memenuhi kebutuhan perdagangan dan ekspor.(Ambary, 1984).
Jenis keramik lain yang ditemukan di situs Kotacina adalah keramik Chingpai (white glaze wares) yang merupakan jenis keramik dengan bahan dasarnya menggunakan stoneware dan glasir putih/bening yang dihasilkan dari mineral silika yang kadang mengalami efek samping dari pembakaran pada suhu yang tinggi berupa retakan halus pada permukaan wadah yang sering disebut pecah seribu. Keramik Chingpai diproduksi pada masa dinasti Sung hingga Dinasti Yuan berkisar antara abad ke-12 M hingga akhir abad ke-14 M. Di situs Kota Cina juga terdapat keramik Te Hua yakni jenis keramik yang mirip dengan keramik Chingpai, perbedaannya pada tingkat kekasaran perekat bahan serta kurang baiknya proses pembentukan akhir. Keramik ini banyak diproduksi pada dinasti Yuan sekitar abad ke-14 M (Ambary, 1984). Jenis lainnya adalah Coarse stone wares, adalah jenis keramik yang masih kasar dalam proses pembentukannya sehingga butiran pada bahan dasar yang berupa stoneware masih nampak, yang memberi kesan kasar bada bagian badan wadah.
Sumber (dengan perubahan seperlunya) :
Laporan Penelitian Situs Kota Cina
http://www.dnaberita.com/berita-90761-situs-kota-cina-ingin-dijadikan-destinisasi-wisata-sejarah--budaya.html
http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/293741-video--ekskavasi-di-situs-kota-cina-medan
http://www.youtube.com/watch?v=gSGfkSwvyJE
Pemetaan Terhadap Delapan Situs Dunia di Sumatera Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar