koding

Selamat Datang di Laman Situs Hindu- Budha Kawasan Sumatera, Madura, dan Kalimantan Republik Indonesia. Selamat Menambah ilmu. Lestarikan Cagar Budaya Kita ! Sadarkan Masyarakat Kita ! UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA NOMOR:PM.49/UM.001/MKP/2009 TENTANG PEDOMAN PELESTARIAN BENDA CAGAR BUDAYA DAN SITUS.

Rabu, 17 Oktober 2012

CANDI SOLOK SIPIN

PROVINSI JAMBI
Kota Jambi

     Candi Solok Sipin terletak di tepi Batanghari ,Kecamatan Jambi Kota, Kota Jambi . Jarak dari tepian sungai sekitar 200 meter. Keadaan permukaan tanahnya berbukit-bukit gelombang lemah. Keadaan permukaan tanahnya tidak rata. Seluruh areal situs berukuran sekitar 10 km²,  Pada tahun 1954 situs ini pernah dikunjungi oleh tim dari Dinas Purbakala. Pada waktu pertama kalinya dikunjungi keadaan situs masih berupa semak belukar yang ditumbuhi lalang dan tanaman perdu.Tragisnya, tahun 1970 an buldozer diizinkan untuk melewati situs arkeologi ini untuk pembangunan rumah. Hal ini mengakibatkan rekonstruksi situs tidak bisa dilakukan , karena banyak rumah yang dibangun di atas lokasi yang harusnya digali . Sisa -sisa batu bata pun ditumpuk dalam 4 kelompok di dalam Candi Solok Sipin . Dan ekskavasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1983 hanya  ber­hasil menampakkan sisa fondasi bangunan bata candi pada aera yang belum dibangun perumahan . 
     
Peninggalan yang ditemukan di Candi Solok Sipin antara lain :    

     Empat buah makara, masing-masing berukuran ting­gi 1,10 meter, 1,21 meter, 1,40 meter, dan 1,45 meter. Pada setiap makara mempunyai hiasan rāksasa yang digambarkan seolah-olah berdiri sambil membuka mulut makara. Setiap rāksasa mem­bawa tali dan sebuah tongkat besar yang di bahagian hujungnya ter­dapat hiasan kuntum bunga.


 








     Makara yang berukuran 1,45 Meter, foto kiri dari empat buah makara yang ditemukan dari Solok Sipin mempunyai tarikh 986 Śaka atau 1064 Masehi dan tulisan yang berbunyi : //(pasumba) lini mpu Dharmmawira (?)//i śaka 986//.  Prasasti angkatahun ini ditemukan pada tahun 1902 dan pertama kali dibaca dan diter­bit­kan oleh Brandes (NBG 1902: 34-36). Hiasannya berupa dua rāksasa yang masing-masing meme­gang lingkaran tali di hadapan bahu kanannya, dan satu rāksasa lagi mem­biarkan lingkaran tali jatuh di bahagian pinggang sebelah kiri. Kedua rāksasa terse­but digambarkan memakai kain cawat, subang telinga, gelang tangan, dan gelang kaki. Hiasan­nya yang dipahatkan pada makara menun­jukkan suatu gaya seni yang tinggi yang  dapat disejajarkan dengan gaya seni yang terbaik di Jawa yang berkembang pada abad ke-8 Masehi (Suleiman 1976: 3). Dilihat ukuran makara yang cukup besar, menunjukkan berasal dari sebuah bangunan yang besar. Makara dengan prasasti angka tahun ini sekarang disim­pan di Musium Nasional, Jakarta, dengan nomor inventaris 459b, sedangkan pra­sastinya bernombor D.110.

Arca Buddha yang sekarang disimpan di Museum Nasional . Arca ini digambar­kan dalam sikap berdiri dan memakai jubah yang seolah-olah transparan. Bentuk wajahnya bulat dengan kedua telinga yang panjang, usnīsha-nya rendah, dan leher yang berlipat-lipat. Keadaan arca sudah rusak dengan kedua belah tangannya telah hilang dan bagian hidung rusak. Tinggi arca keseluruhan 1,72 meter. Arca Buddha ini ditemukan di antara runtuhan bangunan Candi Sekarabah dan Candi Kuto. Menurut dugaan Satyawati Suleiman arca ini ber­lang­gam Post-Gupta yaitu seni aliran Pāla, seperti yang ditemukan juga di Borobudur dan Pram­banan (1976: 4). Tetapi Nik Hassan menduga berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi (Shuhaimi 1992: 47). Selain yang disimpan di Museum Nasional , terdapat pula yang disimpan di Museum Negeri Jambi yakni Stupa berukuran 4 meter dan lapik  . Stupa yang ditemukan ini menunjukkan bahwa Candi Solok Sipin adalah Candi Buddha . Dan adanya lapik menunjukkan bahwa ada sebuah arca yang harusnya ada di atasnya .


                             Lapik Arca                                                                Stupa

BIARO SIMANGAMBAT

PROVINSI SUMATERA UTARA 
Kabupaten Mandailing Natal

     Secara administratif situs Biaro Simangambat termasuk wilayah Lingkungan VI, Kelurahan Simangambat, Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing-Natal .Bentang lahan situs Simangambat merupakan daerah aluvial dengan ketinggian sekitar 200 m dari permukaan air laut. Bentang aluvial di daerah ini terbentuk sebagai hasil sedimentasi DAS Batang Angkola yang diapit oleh jajaran Pegunungan Bukit Barisan di sisi barat dan timurnya. Bentukan lembah di sepanjang DAS Batang Angkola yang tidak terlalu lebar ini merupakan daerah yang subur, sehingga banyak masyarakat daerah ini yang bercocoktanam padi sawah (Oryza sativa). Saat ini sawah-sawah tersebut telah diairi oleh irigasi teknis yang memungkinkan para petani menanam padi 3 kali dalam setahun. Selain ditopang oleh irigasi teknis, masih banyak juga sawah-sawah yang diairi oleh sungai-sungai kecil di sepanjang DAS Batang Angkola, antara lain Sungai Aek Muara Sada yang mengalir di daerah Simangambat dan Sungai Aek Siancing yang mengalir di daerah Siabu.
     Situs Biaro Simangambat sendiri dilaporkan pertama kali oleh Schnitger pada tahun 1937. Pada saat itu dikatakan bahwa candi ini berupa candi bata yang sudah runtuh terdiri dari bangunan induk dan beberapa perwara. (Schnitger, 1937). Batu-batu candi yang berelief kemudian dikumpulkan pada sebuah tanah lapang (ibid, 1937). Tinjauan kedua dilakukan oleh Bennet Bronson pada tahun 1970 an , dan dikatakan bahwa candi ini sudah ditutupi oleh tanah dan alang-alang. Tim Puslitbang Arkenas melakukan survei dan pendataan pada tahun 2007, candi diketahui hanya berupa gundukan yang dibagian permukaannya ditutupi semak belukar dan batu berelief berserakan di sekitarnya. Menurut Bronson (1973) sebagian batu berelief sudah hilang atau diambil oleh penduduk dan digunakan sebagai tangga atau umpak rumah, serta tungku untuk memasak nilam. Lokasi candi juga sudah berubah menjadi kebun Pohon Pinang.
     Kemudian pada tahun 2008, tim Pulitbang melakukan ekskavasi pertama kali di situs ini. Hasilnya adalah ditemukan pintu masuk candi yang berada di sisi timur, beserta salah satu makara, kepala kala, lapik kala dan dorpeel, dan ceplok bunga hiasan makara. Bentuk makara candi ini berbeda dengan makara pada umumnya di candi-candi Padang Lawas. Pada tahun 2009, tim Puslibang Arkenas melanjutkan penelitian di candi ini. Bersama-sama dengan tim dari Balai Arkeologi Medan, tim membuka 24 kotak atau grid. Hasil dari ekskavasi ini, delapan puluh persen bagian candi berhasil ditampakkan.Kegiatan penelitian tersebut juga menghasilkan beberapa artefak sebagai temuan permukaan dan hasil ekskavasi di situs itu. 
    Adapun beberapa batu candi yang masih terdapat di sekitar Biaro Simangambat adalah fragmen ambang pintu berbentuk kepala kala dan fragmen batu berelief pilar. Fragmen ambang pintu candi terbuat dari batu pasir (sandstone) berukuran 50 X 50 X 20 Cm. Muka kala ini mempunyai mata bulat, hidung lebar, dan pipi tebal. Di bagian bawah muka kala ini dipahat sulur-suluran. Di bagian atas batu ini merupakan bidang datar dan terdapat goresan di tepinya yang diduga merupakan takikan untuk mengaitkan batu di bagian atasnya. Demikian juga pada fragmen batu berelief pilar juga terdapat lubang berbentuk segi empat, yang fungsinya diperkirakan sebagai batu kunci .

    Hasil analisis terhadap artefak-artefak yang ditemukan di permukaan tanah maupun hasil ekskavasi adalah:
A. Teknologi bangunan candi
   Candi Simangambat berukuran 4 x 4 m dengan pintu candi berada di sisi timur. Bahan bangunan terdiri dari bata dan batu pasiran, umumnya bahan bata berada pada bagian dalam. Bahan batu pasiran (sandstone) berada pada sisi luar dan umumnya memiliki fungsi dekoratif dan berelief. Konstruksi fondasi candi memakai sistem batu isian, hal ini nampak pada kotak ekskavasi yang menunjukkan adanya ruangan struktur bata dengan batu isian yang terdiri kerakal dan pecahan bata di dalamnya. Pada beberapa batu pasiran berfungsi sebagai bagian dari sistim ikatan batu kunci dan beberapa bata berbentuk sudut yang juga berfungsi sebagai batu kunci.

B. Dekorasi dan seni hias
    Sebagian besar relief dekorasi candi/ biaro Simangambat tertatah pada batu candi dari bahan batu pasiran (sandstone). Berbeda dengan dekorasi candi /biaro di Padang Lawas atau Sumatra Utara pada umumnya. Dekorasi di candi/ biaro ini nampak lebih raya dengan teknik high relief. N.J Krom (1923) dalam tulisannya menyebutkan bahwa peninggalan-peninggalan di Padang Lawas disebut "on Javaansch" yang berarti "gaya seni pahat bangunan-bangunan di Padang Lawas tidak mirip dengan gaya seni pada bangunan-bangunan di Jawa

". Ia melihat banyaknya persamaan dengan pahatan di India Selatan atau Asia Tenggara daratan (Myanmar, Thailand, dan Vietnam). Selanjutnya Krom menghubungkan peninggalan di Padang Lawas dengan Śrīwijaya. Akan tetapi apakah gaya seni di Simangambat ini termasuk yang disebut Krom di atas, hal ini masih diperlukan telaah dan penelitian lebih lanjut.
 


C. Unsur keagamaan
   Pada ekskavasi tahun 2009, di bawah makara candi ditemukan arca Nandi. Dengan adanya temuan ini maka dapat dipastikan bahwa candi /biaro Simangambat merupakan candi berunsur agama Hindu. Selain arca Nandi, pada bagian lain dari candi ditemukan dua buah periuk yang setengah tertanam. Keduaperiuk tersebut ditemukan pada sisi luar dinding candi bagian utara berisikan beberapa fragmen emas, batuan kecil seperti serpih bilah, pecahan kaca, dan beberapa 
manik-manik. Setelah diangkat dan dibersihkan, isi dua buah periuk atau guci pendeman yang ditemukan pada kotak S6T5 spit 5 (125 cm), adalah berupa fragmen emas seberat 3 gr dengan kadar 20 karat, batuan serpih bilah, fragmen kaca, dan manik-manik. Fungsi periuk dan isinya ini masih belum diketahui secara pasti dan masih jarus diteliti lebih lanjut.

Sumber ( dengan perubahan):
Tinjauan Arsitektur Candi Simangambat

Sabtu, 28 April 2012

CANDI TANJUNG MEDAN

PROVINSI SUMATERA BARAT
Kabupaten Pasaman


       Candi Tanjung Medan terletak di Jorong Petok, Kecamatan Panti, Kenagarian Panti, Kabupaten Pasaman, berjarak sekitar 200 m dari jalan provinsi yang menghubungkan Provinsi Sumatera Utara dengan Sumatera Barat. Secara astronomis situs ini berada pada titik 00º 17’ 507’’ LU dan 100° 06’ 099’’ BT. Lokasi kompleks Candi Tanjung Medan berada tidak jauh dari kanal irigasi Panti – Rao selebar 4 m yang memotong sebagian areal situs. Kawasan Candi Tanjung Medan dialiri dua buah sungai yaitu Batang Pauh Gadis dan Batang Sumpur. 
      Masyarakat menyebut Candi Tanjung Medan sebagai Candi Puti Sangkar Bulan, tokoh yang oleh masyarakat dimitoskan karena kesaktiannya. Konon tokoh tersebut yang dimakamkan tidak jauh dari kompleks percandian tersebut. Keberadaan percandian tersebut telah dilaporkan sebelumnya oleh Gubernur Pantai Barat Sumatera (Gouverneur van Sumatra’s Westkust) pada tahun 1865 kepada Direktur Bataviaasch Genootschap di Jakarta. Dalam laporannya disebutkan bahwa bangunan percandian tersebut bentuknya menyerupai menara yang dikelilingi empat teras dan memiliki dua kamar (OV, 1912:36). Analisis terhadap inskripsi pendek berupa delapan buah kelopak bunga emas yang dilakukan Bosch pada tahun 1950 terbaca pertulisan: hum (om) Aksobya.. phat, hum (om) Amoghasiddi..phat dan hum (om) Ratnasambhava..phat diketahui bahwa bangunan candi tersebut memiliki sifat keagamaan berupa Buddha Mahayana. Nama-nama Dewa, Amogasiddi dan Ratnasambhava merupakan perwujudan Dyanibuddha yang menguasai arah timur dan barat, sedangkan Aksobya merupakan simbol merupakan dewa yang diutamakan. Diperkirakan pertulisan ini berasal dari abad 12 Masehi (OV, 1950 dan Schnitger,1937:14).
      Sejarah penemuan candi berkaitan dengan pembangunan saluran irigasi untuk mengairi areal persawahan. Dalam penggalian pembuatan saluran irigasi ini secara tak sengaja ditemukan potongan-potongan bata dan bata berstruktur yang ternyata bagian dari candi. Atas desakan warga sebagai langkah penyelamatan situs maka lintasan saluran irigasi dibelokkan agak jauh dari pembangunan candi. Kompleks Candi Tanjung Medan terdiri dari beberapa unit bangunan yang meliputi bangunan candi I sampai dengan VI. Adapun bangunan candi V dan VI kondisinya masih berada dalam tanah, ditandai dengan keberadaan gundukan dan serakan bata di permukaan tanahnya. Candi I dan II telah dipugar oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Batusangkar (kini BPCB Batusangkar). Bagian depan kedua bangunan ini posisinya saling berhadapan. Bangunan yang tersisa dan berhasil dipugar saat ini hanya sebatas bagian dasar candi.       

  Candi I berbentuk persegiempat dengan anak tangga di sisi timur dengan konstruksi tangga menjorok. Di bagian atas tidak ditemukan kelanjutan sehingga susunan batanya dibuat mendatar. Di sisi utara, selatan dan barat bangunan tersebut terdapat tumpukan bata yang tertata dalam posisi rebah, yang merupakan runtuhan dari bagian tubuh candi.   Bangunan candi IV dilindungi oleh cungkup. Bentuk bangunannya hampir sama, struktur bata polos berundak membentuk bagian dasar dan sebagian badan bangunan. Di bagian atas terdapat isian yang menggunakan bahan yang sama dengan candi III yaitu tanah. Bangunan ini dilengkapi dengan tangga di sisi timur
              
   


 Candi V

      Beberapa temuan lepas disimpan di gudang penyimpanan, terdiri dari enam buah fragmenbatu yang telah mengalami pengerjaan. Batu-batu tersebut mengalami pengerjaan namun tidak diketahui secara pasti fungsinya. Fragmen-fragmen batu tersebut antara lain berupa puncak bangunan atau lingga-yoni (?), lumpang batu, serta beberapa pecahan keramik. Temuan batu andesit yang pertama lebih menyerupai batupenggilasan, diketahui dari bagian tengahnya yang cekung. Bagian tepi atas datar sedangkan tengahnya cekung. Fragmen batu kedua tidak diketahui fungsinya, kemungkinan merupakan bagian sudut dengan pahatan miring. Fragmen batu ketiga merupakan batu granit yang tidak diketahui fungsinya. Batu-batu tersebut ditemukan dalam areal percandian, berasosiasi dengan bangunan-bangunan candi. Temuan lain berupa nisan atau kemuncak bangunan beserta lapiknya. Lapik berbentuk persegiempat terdiri dari dua tingkat dengan bagian atas mengecil. Di bagian tengah terdapat lubang persegiempat tempat meletakkan nisan yang berbentuk gada dengan bagian bawah hiasan berbentuk bulat, sedangkan bagian atasnya berbentuk persegi delapan dan semakin ke atas semakin mengecil. Fragmen batu lainnya berbentuk menyerupai gada persegi delapan, bagian bawah hilang. Adapun temuan lainnya berupa lumpang batu. Bentuknya tidak beraturan, dan di bagian tengah terdapat lubang bekas pengerjaan. Beberapa temuan lain adalah fragmen keramik berwarna hijau dan krem. Keramik Cina dengan dasar warna hijau memiliki pola hias bermotif sulur, sedangkan keramik dengan dasar warna krem berglasir pecah seribu, keduanya diperkirakan berasal dari abad 13 – 14 M.
        Berdasarkan hasil pemugaran yang dilakukan oleh BP3 Batusangkar diketahui bahwa di kompleks percandian Tanjung Medan setidaknya terdapat enam buah bangunan berbahan bata. Berdasarkan keletakan tangga bangunannya diperkirakan bangunan candi ini memiliki persamaan dengan candi di situs Muara Jambi (abad IX – XII Masehi), yaitu memiliki pola keletakan tangga yang linier (Atmojo,1999).
Sumber ( dengan perubahan) :
Daftar Candi Wikipedia Indonesia
Oetomo, R.W. Penelitian Arkeologi di Eks Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. Medan: Balai Arkeologi Medan.

KOMPLEKS CANDI MUARA TAKUS

PROVINSI RIAU
Kabupaten Kampar 


Kompleks Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Budha yang terletak di di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Rao.Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm, di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir Sungai Kampar Kanan.

     Candi ini dibuat dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi yang ada di Jawa, yang dibuat dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi Muara Takus, khususnya tanah liat, diambil dari sebuah desa yang bernama Pongkai, terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus. Nama Pongkai kemungkinan berasal dari Bahasa Tionghoa , Pong berati lubang dan Kai berarti tanah, sehingga dapat bermaksud lubang tanah, yang diakibatkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi Muara Takus tersebut. Bekas lubang galian itu sekarang sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang. Namun dalam Bahasa Siam, kata Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang dapat berarti sungai, dan situs candi ini memang terletak pada tepian sungai.
     
     Bangunan utama di kompleks ini adalah sebuah stupa yang besar, berbentuk menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan sebagian kecil batu pasir kuning. Di dalam situs Candi Muara Takus ini terdapat bangunan candi yang disebut dengan Candi Tua, Candi Bungsu, Stupa Mahligai serta Palangka. Selain bangunan tersebut di dalam komplek candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Sementara di luar situs ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang disebut dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.

Candi Mahligai
     Candi Mahligai atau Stupa Mahligai, merupakan bangunan candi yang dianggap paling utuh. Bangunan ini terbagi atas tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Stupa ini memiliki pondasi berdenah persegi panjang dan berukuran 9,44 m x 10,6 m, serta memiliki 28 sisi yang mengelilingi alas candi dengan pintu masuk berada di sebelah Selatan. Pada bagian alas tersebut terdapat ornamen lotus ganda dan di bagian tengahnya berdiri bangunan menara silindrik dengan 36 sisi berbentuk kelopak bunga pada bagian dasarnya. Bagian atas dari bangunan ini berbentuk lingkaran. Menurut Snitger, dahulu pada ke-empat sudut pondasi terdapat 4 arca singa dalam posisi duduk yang terbuat dari batu andesit. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Y Zerman , dahulu bagian puncak menara terdapat batu dengan lukisan daun oval dan relief-relief sekelilingnya. Bangunan ini diduga mengalami dua tahap pembangunan. Dugaan in didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam kaki bangunan yang sekarang terdapat profil kaki bangunan lama sebelum bangunan diperbesar.

Candi Tua
     Candi Tua atau Candi Sulung merupakan bangunan terbesar di antara bangunan lainnya di dalam situs Candi Muara Takus. Bangunan ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, badan, dan atap. Bagian kaki terbagi dua. Ukuran kaki pertama tingginya 2,37 m sedangkan yang kedua mempunyai ketinggian 1,98 m. Tangga masuk terdapat di sisi Barat dan sisi Timur yang didekorasi dengan arca singa. Lebar masing-masing tangga 3,08 m dan 4 m. Dilihat dari sisa bangunan bagian dasar mempunyai bentuk lingkaran dengan garis tengah ± 7 m dan tinggi 2,50 m. Ukuran pondasi bangunan candi ini adalah 31,65 m x 20,20 m. Pondasi candi ini memiliki 36 sisi yang mengelilingi bagian dasar. Bagian atas dari bangunan ini adalah bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Sulung. Bangunan terbuat dari susunan bata dengan tambahan batu pasir yang hanya digunakan untuk membuat sudut-sudut bangunan, pilaster-pilaster, dan pelipit-pelipit pembatas perbingkaian bawah kaki candi dengan tubuh kaki serta pembatas tubuh kaki dengan perbingkaian atas kaki. Berdasarkan penelitian tahun 1983 diketahui bahwa candi ini paling tidak telah mengalami dua tahap pembangunan. Indikasi mengenai hal ini dapat dilihat dari adanya profil bangunan yang tertutup oleh dinding lain yang bentuk profilnya berbeda.

Candi Bungsu
     Candi Bungsu bentuknya tidak jauh beda dengan Candi Sulung. Hanya saja pada bagian atas berbentuk segi empat. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan ukuran 13,20 x 16,20 meter. Di sebelah timur terdapat stupa-stupa kecil serta terdapat sebuah tangga yang terbuat dari batu putih. Bagian pondasi bangunan memiliki 20 sisi, dengan sebuah bidang di atasnya. Pada bidang tersebut terdapat teratai. Penelitian yang dilakukan oleh Yzerman, berhasil menemukan sebuah lubang di pinggiran padmasana stupa yang di dalamnya terdapat tanah dan abu. Dalam tanah tersebut didapatkan tiga keping potongan emas dan satu keping lagi terdapat di dasar lubang, yang digores dengan gambar-gambar tricula dan tiga huruf Nagari. Di bawah lubang, ditemukan sepotong batu persegi yang pada sisi bawahnya ternyata digores dengan gambar tricula dan sembilan buah huruf. Bangunan ini dibagi menjadi dua bagian menurut jenis bahan yang digunakan. Kurang lebih separuh bangunan bagian Utara terbuat dari batu pasir, sedangkan separuh bangunan bagian selatan terbuat dari bata. Batas antara kedua bagian tersebut mengikuti bentuk profil bangunan yang terbuat dari batu pasir. Hal ini menunjukkan bahwa bagian bangunan yang terbuat dari batu pasir telah selesai dibangun kemudian ditambahkan bagian bangunan yang terbuat dari bata.

Candi Palangka
Bangunan candi ini terletak di sisi timur Stupa Mahligai dengan ukuran tubuh candi 5,10 m x 5,7 m dengan tinggi sekitar dua meter. Candi ini terbuat dari batu bata, dan memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah utara. Candi Palangka pada masa lampau diduga digunakan sebagai altar.


Selasa, 24 April 2012

CANDI KOTA KAPUR

PROVINSI BANGKA BELITUNG
Kabupaten Bangka


Situs Candi Kota Kapur  terletak di Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat. Lebih tepatnya, situs ini terletak di pinggir Sungai  Mendo yang bermuara di selat Bangka. Kota Kapur menjadi daerah yang cukup strategis karena memiliki sumber daya alam tinggi di antaranya timah , dengan ditemukannya arca dan perunggu yang memiliki kandungan timah.

 
Kondisi Candi Kota Kapur berupa sisa reruntuhan candi pada zaman Kerajaan  Sriwijaya yang telah ditimbun kembali. Ditemukan juga puluhan keramik, benteng tanah setinggi sekitar tiga meter, parit di  bawah benteng yang menyerupai terowongan bekas penggalian para arkeolog yang  mencari struktur bangunan candi dan bekas pondasi prasasti Kota Kapur, gedung mirip pendopo yang menyimpan barang-barang sejarah, dan potongan arca yang masih terawat baik. 


Selain candi terdapat pula Prasasti Kota Kapur sendiri berangka tahun 608 saka (686 Masehi), yang merupakan prasati persumpahan berbentuk lingga dengan bahasa Melayu kuno dan ditulis dalam aksara palawa, yang menjadi penanda bahwa wilayah tersebut merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Pada akhir prasasti disebutkan bahwa prasasti dipahat pada tanggal 28 April 686, ketika Bala tentara Sriwijaya baru berangkat menyerang Bhumi jawa. Prasasti ini ditemukan oleh JK. Fander Meulend (orang Belanda) yang pada waktu itu menjabat  sebagai Administrator di Sungai Selan pada tahun 1892. 




     Pahatan pada prasasti ini berjumlah  sepuluh baris dengan menggunakan aksara Pallawa dalam bahasa Sansekerta . Pada  tahun 1978, di areal situs ditemukan alas prasasti oleh penduduk desa Kota  Kapur. Alas prasasti yang memiliki panjang 30 cm, lebar 52 cm, dan berat 7 kg  tersebut sekarang berada di rumah juru pelihara Situs Kota Kapur. Di area ini terdapat batu berdiri menyerupai gapura yang tingginya sekitar 75 meter sebagai tanda ditemukannya situs ini oleh JK. Fander  Meulend .Area ini  sudah dua kali diadakan penelitian oleh Tim Arkeologi Nasional bekerjasama  dengan Tim Arkeologi dari Perancis tahun 1994 - 1995 dan terakhir 2007.
   


  

Situs Candi Burung - Kabupaten Pamekasan - Madura- Jawa Timur

Kondisi situs
Situs Candi Burung terletak di Desa Candi Burung, Kecamatan Proppo, Pamekasan. Lokasi candi berada di tengah sawah dan candi sudah dalam kondisi tidak utuh yakni berupa reruntuhan bebatuan. “Burung” merupakan istilah bahasa Madura yang artinya adalah gagal. Gagalnya pembangunan candi di Desa Candi Burung tersebut, karena pada saat yang bersamaan, ajaran agama Islam juga mulai menyebar luas di Pamekasan yang juga berpusat di wilayah Kecamatan Proppo, yakni di Desa Jambringin.Hal ini ditandai dengan adanya situs “Langgar” yakni sejenis musalla dan menjadi tempat ibadah umat Islam di rumahnya masing-masing akan tetapi terbuat dari kayu. Langgar itu bernama langgar Gayam.

 Hasil penelitian
Situs candi ini diperkirakan dibangun pada sekitar abad ke-16 masehi, awal masuknya ajaran agama Islam ke Pamekasan. Pada situs terdapat beberapa arca Hindhu yang ditemukan Dul Ahmad. Arca yang ditemukan pernah berupaya dipindahkan, tetapi sebagian warga tidak setuju karena di tempat patung yang ditemukan itu memang merupakan bekas bangunan candi. 

 Gambar 1. Arca candi burung

Sejarawan Pamekasan, Sulaiman Sadik, menyatakan, wilayah Kabupaten Pamekasan memang pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit sebelum Islam masuk ke Madura.Ironisnya arca di situs bersejarah ini hilang dicuri pada Oktober 2009.  Menurut Suheb, salah seorang aparat desa setempat, sejak patung itu ditemukan oleh warga bernama Dul Ahmad tidak diperhatikan sama sekali. "Wong masyarakat di sini sudah berpikir tidak ada gunanya," terang Suheb.
Daftar Pustaka( dengan perubahan seperlunya) :
Patung Peninggalan Majapahit Hilang di Pamekasan
www.antaranews.com/berita/156574/patung-peninggalan-majapahit-hilang-di-pamekasan



Sabtu, 21 April 2012

CANDI ORANG KAYO HITAM

PROVINSI JAMBI
Kabupaten Tanjung Jabung Timur


Secara administrasi, Candi Situs Orang Kayo Hitam terletak di Desa Simpang, Kecamatan Berbak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Propinsi Jambi. Sedangkan secara astronomis terletak berada pada koordinat 01o16’55,2” LS dan 104o04,55,1” BT. Situs ini dapat dikatakan berjenis multi component sites mengingat di lokasi ini terdapat beberapa jenis peninggalan dari masa berbeda, yaitu peninggalan masa Hindu Budha dan masa Islam.


     Masa Hindu Budha ditandai dengan adanya tinggalan struktur bata kuno yang diduga sebagai Candi Budha beserta temuan pendukungnya yang antara lain berupa tangan arca dan arca kepala berwujud singa. Sedangkan masa Islam diketahui dengan adanya tinggalan berupa makam yang dipercaya sebagai makam pendiri Kesultanan Jambi yaitu Makam Orang Kayo Hitam dan Putri Mayang Mangurai serta makam Orang Kayo Pingai (kakak Orang Kayo Hitam) di seberang sungai Batanghari.
Struktur bata kuno yang diduga merupakan reruntuhan bangunan candi ini telah cukup dilakukan pengumpulan data awal di tahun-tahun sebelumnya. Keberadaannya yang terletak tidak jauh dari lokasi Makam Orang Kayo Hitam cukup strategis secara dilihat dari faktor jumlah kunjungan. Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sendiri baru satu tinggalan arkeologis yang dilakukan tindakan pemugaran yaitu Candi Keramat 1. Hal-hal demikian dapat dijadikan faktor strategis untuk dapat menjalin hubungan koordinasi yang baik dengan Pemerintah Daerah Tanjung Jabung Timur khususnya dan masyarakat pada umumnya bahwa BCB yang berada di wilayahnya juga mendapat perhatian dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi.

    Namun sebelum tindakan pemugaran pada struktur OKH 2 dilakukan perlu dilaksanakan studi teknis terlebih dahulu sebagai acuan dalam pelaksanaan pemugaran selanjutnya. Studi Teknis Pemugaran adalah tahapan kegiatan dalam rangka menetapkan tata cara dan teknik pelaksanaan pemugaran berdasarkan penilaian atas setiap perubahan atau kerusakan yang terjadi pada bangunan, serta cara penanggulangannya melalui pendekatan sebab dan akibat. Tahun ini fokus studi teknis hanya dilakukan pada struktur OKH 2, situs OKH sendiri sekurangnya memiliki lebih dari 5 gundukan tanah yang diperkirakan mengandung struktur bata. Namun sebelum keseluruhannya dilakukan tindakan berupa studi teknis, perlu dilakukan ekskavasi penyelamatan terlebih dahulu untuk membuktikan keberadaan struktur bata di lokasi lain tersebut cukup untuk memenuhi syarat keutuhan atau tidak untuk dipugar nantinya.

Jumat, 20 April 2012

KOMPLEKS BIARO BAHAL

Provinsi Sumatera Utara
Kabupaten Padang Lawas Utara

     Kompleks Biaro Bahal terletak di  Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak. Biaro Bahal terdiri dari tiga buah candi yakni Biaro 1, Biaro 2 dan Biaro 3. 
      
Biaro induk Bahal-1 menghadap ke tenggara berdiri di atas batur yang
berdenah bujur sangkar dengan ukuran 10 X 10 meter dan tinggi 2,75 meter
dengan tangga naik di sisi tenggara. Tangga naik lebarnya 2,25 meter dan terdiri dari 8 anak tangga. Di bagian ujung pipi tangga, terdapat hiasan sepasang makara.Di bagian atas batur tersebut berdiri kaki biaro yang berdenah bujursangkardengan ukuran 7,3 X 7,3 meter dan tinggi 1,82 meter. 

     Tangga naik menuju ruangan biaro induk terletak di tenggara, terdiri dari 7 anak tangga. Bagian tubuh Biaro Bahal 1 berdenah 5 X 5 meter dengan tinggi 6 meter berdiri di atas kaki biaro. Pintu masuk berada di sisi tenggara berukuran lebar 1,10 meter dan tinggi 2,15 meter, di sisi kiri dan kanan pintu masuk terdapat hiasan relief manusia yang tinggal bagian dada ke bawah dengan alat kelaminnya dipahat dengan jelas. Di dalam bilik biaro tidak dijumpai obyek pemujaan (arca).

      Atap Biaro Bahal 1 yang masih tersisa bentuknya bulat tetapi alasnya
berbentuk bujur sangkar dan terdiri dari pelipit-pelipit. Alas yang berdenah bujur
sangkar itu berukuran 4,8 X 4,8 meter (Mundardjito 1984-85: 16). Bagian atap
yang bundar tersebut dihiasi relief berupa untaian pita. Tinggi keseluruhan biaro
jika diukur dari bagian batur hingga bagian atap sekitar 14 meter (Koestoro, dkk 2001: 29). Adapun biaro perwara yang terdapat di kompleks Bahal 1 berjumlah 4
yang berbentuk mandapa-mandapa dan stupa.

     Biaro induk Bahal 2 menghadap ke tenggara, terdiri dari kaki, tubuh dan
atap. Bagian kaki berdenah bujur sangkar berukuran 10,5 X 10,5 meter dan tinggi 170 cm. Tangga naik berada di tenggara dengan ukuran lebar 1,10 meter dan tebal pipi tangga 0,65 cm. Pada kaki bagian atas terdapat selasar. Bagian tubuh biaro berdenah bujur sangkar berukuran 5,5 X 5,5 meter dan tinggi 3,5 meter.


     Pada kumai bawah dan tubuh biaro dihiasi birai rata (patta) dan birai setengah
lingkaran (kumuda). Bagian atap biaro berbentuk kubus yang di sekelilingnya
terdapat relung-relung kecil. Menurut laporan Schnitger, di atas pintu masuk
Biaro Bahal 2 dahulu terdapat kepala kala (Schnitger 1938: 85). Adapun biaro
perwara yang terdapat di kompleks Bahal 2 berjumlah 2 yang berbentuk mandapa
dan stupa.Biaro seluas 60 X 50 meter tersebut dibatasi oleh pagar keliling dari
susunan bata setinggi 1,20 meter dan lebar 1 meter, dengan gapura di sisi timur
setinggi 1,50 meter. Biaro yang terdapat dalam kompleks tersebut adalah 1 biaro
induk dan dua biaro perwara. setinggi 1,50 meter. Biaro induk menghadap ke
tenggara, terdiri dari kaki, tubuh dan atap.

     Bagian kaki berdenah bujur sangkar berukuran 10,5 X 10,5 meter dan tinggi
170 cm. Tangga naik berada di tenggara dengan ukuran lebar 1,10 meter dan tebal
pipi tangga 0,65 cm. Pada kaki bagian atas terdapat selasar. Bagian tubuh biaro
berdenah bujur sangkar berukuran 5,5 X 5,5 meter dan tinggi 3,5 meter. Pada
kumai bawah dan tubuh biaro dihiasi birai rata (patta) dan birai setengah
lingkaran (kumuda). Bagian atap biaro berbentuk kubus yang di sekelilingnya
terdapat relung-relung kecil. Menurut laporan Schnitger, di atas pintu masuk biaro
ini dahulu terdapat kepala kala.

     Biaro Induk Bahal 3 terdiri dari bagian kaki, tubuh, dan atap, dengan tinggi
keseluruhan 10,7 meter. Bagian kaki berdenah persegi empat berukuran 11,4 X8,4 meter dan tinggi 1,8 meter, terdapat lantai selasar selebar 1,3 meter. Pada bagian kaki terdapat profil sisi genta (padma) dan setengah lingkaran (kumuda).



     Di sebelah tenggara terdapat tangga naik yang menjorok ke depan, di kanan kiri
tangga terdapat fragmen arca penjaga. Bagian tubuh induk Biaro Bahal-3 berdenah persegi empat dengan ukuran 5,6 X 5,4 meter dan tinggi 5,4 meter. Pada dinding utara, barat dan selatan terdapat penampil semu dengan lebar 1,5 meter. Bagian atap biaro berbentuk segi empat yang bertumpuk tiga, semakin ke atas semakin kecil. Ukuran atap 2,6 X 2,6 meter dan tinggi 3,5 meter. Adapun biaro perwara yang terdapat di kompleks Bahal 3 hanya 1 berbentuk mandapa terletak di hadapan biaro induk.


KOMPLEKS CANDI PULAU SAWAH

PROVINSI SUMATERA BARAT
Kabupaten Dharmasraya

     Kompleks Candi Pulausawah berada dalam Jorong Pulausawah Kanagarian Siguntur, Kecamatan Pulaupunjung . Situs Pulausawah yang terletak sekitar 100 m di atas permukaan laut termasuk dalam bioma hutan hujan, beriklim selalu basah sampai kering tengah tahun, yang termasuk  dalam sub-bioma hutan hujan tanah kering.

     Candi Pulau Sawah I terdiri dari satu bangunan besar setinggi 2,4 meter. Bangunan ini berbentuk kotak bersegi duapuluh, yang masing-masing sisinya tidak sama panjang. Tepat di tengah bangunan (situs) terdapat sebuah lubang besar berbentuk empat persegi panjang berukuran 2,06 x 1,82 meter dengan kedalaman 2,4 meter. Pada bagian (yang mungkin) depan dari bangunan ini terdapat sebuah lubang lagi dengan kedalaman yang sama tetapi luasnya berbeda. Lubang ini agak lebih kecil dari ukuran lubang sebelumnya, berukuran 1,2 x 1,57 meter. Kedua lubang yang berbentuk persegi panjang ini diperkirakan kolam tempat pemandian.




     Candi Pulau Sawah I sudah direkonstruksi. Bagian atas bangunan, bahannya sudah diganti dengan yang lebih baru, karena bangunan yang asli sudah terlalu tua dan lapuk. Dalam penelitian arkeologi, rekonstruksi semacam ini mungkin dan boleh dilakukan dengan ketentuan warna, bentuk, dan kualitas bahan harus disesuaikan dengan bangunan asli.

     Candi  Pulau Sawah II  berjarak kira-kira 500 meter dari Situs Pulau Sawah I. Bentuk asli bangunan ini tidak diketahui secara pasti. Situs ini ditemukan para arkeolog ditahun 1985. Ketika ditemukan, situs tertimbun gundukan tanah setinggi lima meter. Situs terdiri dari sebuah parit dengan ukuran luas 100 x 100 meter. Terdapat beberapa bangunan kecil-kecil yang diperkirakan sebagai kolam.

     Candi Pulau Sawah II diperkirakan merupakan sebuah komplek candi, di mana di dalamnya terdapat beberapa candi kecil dan kolam-kolam pemandian. Ada dugaan, parit-parit dengan luas 100 x 100 meter itu bukan merupakan tembok yang memagari komplek candi, tetapi merupakan bagian dari sebuah candi besar. Sehingganya, Candi Pulau Sawah II merupakan sebuah candi besar atau tidak terdiri dari candi-candi kecil.

     
     Namun tak mustahil, situs ini merupakan sebuah benteng pertahanan, atau semacam pos komando tempat mengawasi pergerakan musuh. Kemungkinan ini di dasarkan pada posisi situs ini yang sangat strategis sebagai pos pengawasan dan benteng pertahanan. Dari tempat bangunan ini berada, hampir dapar dipastikan, seluruh penjuru mata angin dapat dilihat dan diteropong. Baik dari arah aliran sungai Batanghari (tempat kemungkinan terbesar menjadi gerbang masuknya balatentara musuh untuk menyerang) maupun dari arah perbukitan atau daratan.

     Hanya saja, terdapat keraguan terhadap pendapat yang mengatakan fungsi situs ini sebagai benteng atau pos pertahanan. Pos pengawasan dan pertahanan militer pada abad ke-13 (masa yang diperkirakan bangunan hni didirikan) tidak dibangun dengan menggunakan banguan yang permanen. ini terbukti, tidak adanya ditemukan di Jawa misalnya, benteng kerajaan yang permanen. 


     Apalagi benteng pertahanan tidak dibangun di tempat yang lebih di pedalaman, tetapi didirikan di sekitar pintu gerbang kerajaan untuk melindungi dengan cepat jika serangan dari luar datang. Sementara posisi Situs Pulau Sawah II besar kemungkinan bukanlah daerah yang menjadi pintu gerbang untuk memasuki kerajaan Dharmasraya ketika itu, meskipun letaknya sangat strategis. Lagi pula, bangunan yang besar dan agung cenderung didirikan karena dorongan besar untuk menghormati sesuatu yang agung pula. Untuk ini, dorongan agama lebih kuat dibandingkan dengan dorongan apa pun, termasuk doronga untuk memperkuat pertahanan militer. Sehingga, seperti yang telah disebutkan, situs ini merupakan candi.



Kamis, 19 April 2012

KOMPLEKS CANDI PADANG ROCO

PROVINSI SUMATERA BARAT
Kabupaten Dharmasraya

     Kompleks  Candi Padang Roco terletak di Jorong Sungai Langsat/Lansek Kenagarian Siguntur kecamatan Sitiung Kabupaten Dharmasraya. Secara geografis situs ini terletak pada sebuah dataran pada ketinggian sekitar 160 Meter dari permukaan laut dan terletak pada posisi 700 LS dan 109o44BT. Kompleks Candi Padang Roco mempunyai peninggalan dalam bentuk candi sebanyak 3 (tiga) buah, yaitu Candi Padang Roco I, II, dan III. Candi Padang Roco pada dasarnya berada pada daerah dataran yang dilingkari oleh parit keliling dari arah barat menyambung ke utara dan berakhir disisi timur.

Candi Padang Roco I, merupakan candi Induk dengan ukuran 21 meter kali 21 meter dengan ketinggian struktur bata sekitar 90 cm dan pada bagian tengah (bagian isian candi) sekitar 3 meter. Bangunan induk ini mempunyai tangga masuk/naik pada keempat sisinya dengan orientasi barat daya sampai timur laut. Candi padang roco I (induk)  pada saat pengepusan, sekarang sudah dipagar dan diberi cungkup perlindungan.



     Candi Padang Roco II merupakan bangunan dengan struktur bata berdenah bujur sangkar, terdiri dari 3 undakan, undakan berukuran 2 x 2 M dengan tinggi bangunan yang masih tersisa terletak dibagian selatan. Terdiri dari 7 lapis bata sedangkan candi Padang Roco masih berupa reruntuhan disudut belakang candi Padang Roco II.

  
    

Candi Padang Roco III sesudah dilakukan pengepusan dengan tangga disisi depan barat daya mengarah ke sungai Batanghari. Candi III merupakan candi yang terbuat dari konstruksi susunan bata berdenah bujur sangkar berukuran 4,40 x 4,40 m. Tinggi bangunan yang masih tersisa sekarang 1.28 M pintu masuk dan tangga yang menjadi arah hadap terletak disisi barat sehingga bangunan tersebut berorientasi kebarat daya-timur laut.

Jumat, 13 April 2012

KOMPLEKS CANDI / BIARO / AEK SI SANGKILON

Provinsi Sumatera Utara
Kabupaten Padang Lawas

       Kompleks Candi atau Biaro Si Sangkilon terletak di Desa Sangkilon, Kecamatan Barumun . Biaro Si Sangkilon berupa beberapa gundukan tanah yang terletak di tengah areal persawahan. Sekitar 20-30 meter menuju arah utara terbentang Sungai Sangkilon (anak Sungai Barumun di daerah hulu).  Pada areal kompleks yang dibatasi tembok keliling terdapat empat buah runtuhan bangunan, masing-masing sebuah bangunan induk dan tiga buah bangunan yang lebih kecil.

   Kompleks Biaro Si Sangkilon mempunyai tembok pagar keliling yang dibuat dari bata. Runtuhan gerbang pintu masuk halaman kompleks biaro yang masih tersisa terletak di sisi utara menghadap ke arah Sungai Sangkilon. Bangunan Biaro Induk sudah tidak utuh lagi, bagian bangunan yang masih tersisa adalah kaki dan tubuh, sedangkan bagian atapnya sudah hilang. Bagian kaki bangunan tertimbun runtuhan yang bercampur dengan tanah, berukuran 11 x 11 meter dan tinggi 3,1 meter. Tubuh bangunan yang masih tersisa hanya dua sisi, yaitu sisi utara dan sisi barat. Masing-masing sisi berukuran lebar 2 meter dan tinggi 2,6 meter.

     Berdasarkan temuan sebuah lempengan prasasti emas berukuran 5 x 14 cm dalam bilik Biaro Induk Biaro Sangkilon diduga dibangun pada abad ke-14 Masehi. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris 6146. Di ujung tangga naik biaro induk terdapat sepasang hiasan makara yang keadaannya sudah rusak (bagian atas belalai sudah patah). Sebagian badannya terbenam di tanah. Hiasan yang terdapat pada makara berupa sulur-sulur daun. Di bagian mulut makara terdapat hiasan makhluk raksasa.

      Di halaman kompleks biaro ini terdapat 3 gundukan yang mungkin merupakan runtuhan bangunan. Gundukan-gundukan ini terletak di sebelah barat, utara, dan barat laut Biaro Induk. Temuan lain yang terdapat di halaman biaro berupa 2 buah arca singa, fragmen bangunan, dan lapik. Seluruhnya dibuat dari batu andesit. Arca singa yang ditemukan bagian kepalanya sudah hilang.

KOMPLEKS CANDI / BIARO SI PAMUTUNG

PROVINSI SUMATERA UTARA
Kabupaten Padang Lawas 

          Kompleks Candi Sipamutung berada Desa Siparau, Kecamatan Barumun Tengah tepatnya pada persimpangan Sungai Batang Pane dengan Sungai Barumun, berdiri di atas areal dataran tinggi dengan lingkungan alam yang tampak gersang. Luas lahan percandian 6000 m2, dan luas bangunan 3480 m2. Kompleks Candi Sipamutung dikelilingi oleh tembok bata yang berfungsi sebagai pagar , di sisi timur terdapat gapura atau gerbang dengan ukuran 74 x 74 m. Di dalamnya terdapat sebuah Candi Induk dan enam buah Perwara serta 6 candi atau biaro kecil. Terdapat juga artefak-artefak dilokasi ini antara lain Bhairawa-Bhairawa menggunakan batuan tufa.
a) Biaro Induk      
              Biaro induk terbuat dari bata menghadap ke timur dengan denah bujur sangkar
berukuran 11 X 11 meter serta tinggi 13 meter. Secara vertikal profil biaro terdiri atas batur, kaki, badan, dan atap biaro. Batur tingginya 2,25 meter, kaki biaro tinggi 1,25 m. Terdapat tangga naik pada penampil di sisi timur. Profil yang terlihat pada kaki biaro adalah persegi empat dan sisi genta. Tubuh biaro berbentuk persegi empat dengan pintu masuk di sisi timur, Kumai bawah dan atas biaro berupa birai rata (patta). Pada bilik biaro tidak dijumpai arca. Atap biaro berbentuk segi empat bertingkat tiga. Pada bentuk aslinya tingkat paling bawah di setiap sisinya dihiasi 5 stupa, pada tingkat kedua di setiap sisi dihiasi 4 stupa, dan pada tingkat paling atas berupa satu stupa yang lebih besar dari pada stupa-stupa di bawahnya. Namun karena kerusakan yang dialami maka atap biaro ini hanya tinggal 7 fragmen stupa saja, yaitu pada atap sisi utara. Sedangkan kemuncak atap sudah tidak ada.
Denah kompleks Biaro Si Pamutung (Sumber: Balar Medan)
b) Biaro Perwara A
          Biaro Perwara A terletak 4 meter ke arah timur dari biaro Induk. Bangunan ini berdenah segi empat dengan ukuran 10,25 X 9,90 meter, tinggi 1,15 meter. Bangunan tersebut terbuat dari bata yang berbentuk batur pendopo (mandapa).
c) Biaro Perwara B
           Biaro Perwara B terletak 5 meter ke arah utara dari Biaro Induk, terbuat dari batu pasir (sandstone), berdenah segi empat, dan mempunyai tangga masuk pada keempat sisinya. Biaro perwara B berukuran 11,60 X 10,60 meter, dengan tinggi 2,10 meter, berupa bagian "kaki" biaro yang terlihat jelas profil kumai bawah yang sangat mirip dengan profil candi Jawa Tengah.
Kumai bawah terdiri dari birai rata (patta), birai padma dan birai setengah lingkaran (kumuda) (Suleiman 1976: 20). terdapat umpak-umpak penyangga tiang yang berderet di setiap sisi. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa tiang bangunan menggunakan kayu dan atap bangunan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama. Di bagian atas biaro tersebut terdapat arca singa yang nampaknya tidak insitu, karena arca singa biasanya terletak di kanan kiri pintu sebagai penjaga. 
d) Biaro Perwara C
             Biaro Perwara C terletak di selatan Biaro Induk, terbuat dari bata yang berbentuk kaki biaro. Biaro tersebut mempunyai tangga naik di sebelah timur dengan 7 anak tangga dan di bagian atasnya terdapat semacam altar dari bata berbentuk curciform (bentuk curciform merupakan pengolahan lebih lanjut dari segi empat menjadi 16 sudut). Pada kaki (kumai bawah) biaro tersebut dihiasi birai padma dan birai rata (patta).
e) Biaro Perwara D
              Biaro Perwara D terletak di selatan Biaro Perwara C, terbuat dari bata, berupa bagian kaki biaro. Biaro tersebut mempunyai tangga naik di sebelah timur dengan 8 anak tangga dan di bagian atasnya terdapat semacam altar dari bata berbentuk curciform. Pada kaki biaro tersebut (kumai bawah) dihiasi birai padma, birai setengah lingkaran (kumuda) dan birai rata (patta).


 Biaro Perwara C dan D
f) Biaro Perwara E
         Biaro Perwara E terletak 12 meter ke arah timur laut dari biaro induk, terbuat dari batupasir (sandstone), berdenah bujur sangkar dengan ukuran sisi-sisi 6 meter, tinggi bagian dasar 20 cm, sedangkan bagian atas berupa tanah lempung padat dengan tinggi sekitar 35 cm. Biaro perwara E juga berbentuk mandapa.
g) Biaro Perwara F
              Biaro Perwara F terletak di sebelah tenggara biaro induk, terbuat dari bata berbentuk mandapa setinggi 1 meter, dengan dua tangga berada di timur dan barat.
h) Gapura dan Pagar keliling
               Gapura biaro berada di sisi timur, hanya tersisa setinggi 1 meter sehingga tidak 
diketahui apakah gapura ini semula berbentuk paduraksa atau candi bentar. Pagar keliling mengelilingi sisi selatan, barat, utara, dan timur biaro, terbuat dari bata dengan lebar 1 meter dan tinggi 50 cm.
i) Makara di sebelah kiri pipi tangga biaro induk
           Makara berada di bagian bawah sebelah kiri pipi tangga biaro induk, berukuran panjang dari depan ke belakang 102 cm, bagian depan lebar 48 cm, tinggi 84 cm; bagian belakang lebar 65 cm, tinggi 48 cm. Di bagian belakang terdapat batu menonjol sebagai pasak untuk menyatukan makara dengan bangunan biaro, panjang pasak 30 cm. Kondisi makara berjamur di beberapa bagian, sebagian besar atas kiri pecah demikian juga bagian wajah tokoh yang ada dalam mulut makara. Tampak depan: deretan gigi, di dalam mulut dipahatkan okoh prajurit berdiri. Tokoh prajurit berdiri tegak, bagian muka pecah, tangan kanan ditekuk ke belakang membawa pedang panjang menempel di bahu. Tangan kiri membawa
sesuatu yang tidak jelas karena aus. Mengenakan kain sampai paha berhias pola garis horizontal, wiron sampai telapak kaki. Upawita berbentuk tali polos dua susun, mengenakan kalung berhias pola manik-manik. Tampak belakang: pola hias sulur gelung diisi pola daun bunga. Lapik berhias pola sulur. Tampak samping makara: taring memanjang ke atas sampai di atas mata(mata berada di samping). Pinggiran rahang berbentuk seperti belalai; mata kecil lonjong,
bagian atas panjang melengkung. Di atas mata dan kuping terdapat pola hias sulur; kuping berbentuk agak segi empat, berhias garis lurus, di dua sisi garis melintang. Di bagian pangkal tepian rahang berhias pola sulur; Terdapat tangan mengenakan gelang lengan berbentuk pita berhias untaian manik-manik + simbar bunga dan gelang polos susun tiga.
j) Makara di sebelah kanan pipi tangga biaro induk          Makara berada di bagian bawah sebelah kanan pipi tangga biaro induk, berukuran panjang dari depan ke belakang  92 cm, bagian depan lebar 50 cm, tinggi 100 cm; bagian belakang lebar 70 cm, tinggi 43 cm. Di bagian belakang terdapat batu menonjol sepanjang 31 cm sebagai pasak untuk menyatukan makara dengan bangunan biaro. Makara terbuat dari batu, di beberapa bagian aus, berjamur dan sisi kanan sudah hilang. Di belakang kedua rahang terdapat lengan bercakar yang menyangga rahang, memakai gelang lengan berhiaskan ceplok bunga di bagian tengah, sedangkan gelang di pergelangan berbentuk tali 3 susun. Rahang berbentuk belalai, dengan hiasan sulur-suluran. Di rahang bawah terdapat 2 taring yang sudah patah dan 6 gigi. Rahang kanan atas terdapat 1 taring ke arah bawah, 5 gigi, dan sebuah taring panjang yang mencuat ke atas. Rahang bawah berhiaskan sulur-suluran. Telinga berupa garis-garis vertikal yang membentuk segi empat melebar. Mata berbentuk bulat telur memanjang, alis mata berupa garis-garis vertikal membentuk lengkungan searah dengan garis mata. Dalam mulut makara terdapat tokoh prajurit berdiri tegak, namun bagian kepala sudah hilang sebagian.
k) Fragmen arca penjaga 1

       Berupa arca penjaga terbuat dari batu berdiri tegak di atas lapik dengan kedua tangan di depan perut, tangan kanan memegang gada, tangan kiri di depan perut. Bagian kepala dan kedua telapak tangan arca tersebut sudah hilang. Tinggi arca 130 cm dan lebarnya 56 cm. Kedua tangan, dan kedua kaki memakai gelang dan kelat bahu yang berbentuk ular kobra, upawita juga berbentuk ular kobra. Mengenakan kain dari perut hingga pangkal paha dengan motif ceplok bunga dan geometris. Di bagian depan dan belakang di antara kedua belah kakinya terdapat juntaian kain (uñcal) (Susetyo 1995:12). Arca penjaga tersebut sekarang dalam keadaanterpotong, disimpan di werk-keet Biaro Si Pamutung.

l) Fragmen Arca Penjaga 2
             Arca batu menggambarkan seorang penjaga berdiri di atas lapik dengan posisi kaki kiri lurus dan kaki kanan agak ditekuk. Bagian leher hingga kepalanya terpenggal. Tinggi arca 1,25 meter, lebar 56 cm. Mengenakan kain hingga pangkal paha dengan motif ceplok bunga dan geometris, di antara kedua kakinya terdapat kain yang menjuntai (uñcal). Kedua tangan berada di depan badan tetapi kedua telapak tangannya sudah hilang. Memakai gelang tangan, gelang kaki dan kelat bahu (keyūra) berbentuk ular kobra. Memakai kalung dari untaian manik-manik dan upawita polos Susetyo 1995: 11). Arca tersebut tidak diketahui keberadaannya sekarang.
 m) Fragmen Arca Penjaga 3
    Arca terbuat dari batu, dalam sikap setengah berjongkok, kaki kiri bersimpuh dan lutut kaki kanan ditekuk. Bagian kepala sampai dengan dada telah hilang, tinggi keseluruhan 77 cm, tinggi arca: 52 cm, lebar arca 55 cm, dan tebal arca 41 cm. Kedua lengan masih ada, sikap lengan kanan memegang pangkal tangkai gada menempel di perut, lengan kiri berada di atas paha kiri. Memakai gelang lengan dan gelang kaki dengan hiasan untaian manik. Memakai kain dari pinggang sampai setengah paha dengan motif hias kotak-kotak yang diisi ceplok bunga. Arca tersebut disimpan di werk-keet Si Pamutung.

 n) Fragmen Arca tokoh 1
             Arca terbuat dari batu, bagian kepala sampai dengan leher hilang, bagian pinggang ke bawah hilang, dan bahu bagian kiri patah. Ukuran arca tinggi 31 cm,lebar 43 cm dan tebal 19 cm, mengenakan kalung berbentuk lembaran melebar dengan hiasan ceplok bunga di bagian tengah. Memakai upawita yang tersampir di bahu kiri, berbentuk tiga susun tali. Memakai gelang lengan berbentuk 2 susun tali, dan di bagian tengah terdapat hiasan wajah/ kepala kala. Arca tersebut berada di werk-keet Biaro Si Pamutung.

o) Lapik arca berhias singa
            Lapik arca dari batu berbentuk segi empat agak membulat pada masing masing
sisinya dihias dua figur singa yang saling bertolak belakang, sehingga jika dalam keadaan utuh terdapat 8 figur singa yang mengelilingi lapik tersebut. Di bagian permukaan lapik terdapat lubang berbentuk segi empat dengan ukuran 9 X 9 cm dan kedalaman 41 cm. Tinggi lapik 41 cm dengan diameter bagian atas lapik 57 cm. Schnitger menyebutkan adanya fragmen arca raksasa dan raksasi sebagai Bhairawa dan Bhairawi di Biaro Si Pamutung. Arca tersebut berada di atas lapik yang bagian pinggirnya berhias 8 singa (Schnitger 1937: gambar XXVIII).
  

p) Arca Amitābha
    Arca Amitābha dari perunggu ditemukan pada waktu penggalian di dekat biaro induk Si Pamutung oleh Schnitger tahun 1936 (Mulia 1980: 12). Menurut Schnitger (1937) arca tersebut merupakan koleksi A. Van Doorninck, dan sekarang disimpan di Museum of the Tropical Institute, Amsterdam. Arca Amitābha berukuran tinggi 12,5 cm, sikap duduk paryańkasana, yaitu kedua kaki bersila. Sedangkan tangannya dalam sikap dhyānimūdra (bersemedi). Bentuk wajahnya digambarkan bulat dengan rambut keriting kecil-kecl. Usnīsa tampak menjulang di kepalanya. Daun telinganya digambarkan panjang. Kedua matanya tampak agak dipejamkan dalam sikap semedi. Digambarkan memakai jubah yang tipis
menutupi bagian pundak sebelah kiri. Pada pundak sebelah kiri tampak seperti selendang yang mengarah ke bagian perut Arca Amitābha diperkirakan berasal dari Srilangka, dari abad ke-10 Masehi Ciri yang khas dari arca ini adalah usnīsa -nya diganti dengan bentuk lidah api (Susetyo, dkk 2009: 43). Dalam pantheon Buddha, Amitābha merupakan salah satu Dhyānibuddha dengan sikap tangan Dhyānimudra, berkedudukan dan menghadap ke barat. Dhyanibuddha adalah nama umum Buddha dalam meditasi. Ia adalah emanasi dari Adibuddha dan umumnya terdiri dari 5 yang merupakan satu kelompok,kelimanya merepresentasikan 5 elemen kosmis. Kelima Dhyanibuddha tersebut disebut Paňcatathāgatha yang merupakan inti ajaran Tantrāyana. (Magetsari 1997:367).
 q) Arca Singa 1
            Arca Singa 1 dari batu dalam posisi berdiri di atas lapik setebal 5 cm dengan posisi kaki depan lurus sedangkan kaki belakang ditekuk ke depan. Ukuran arca singa bagian depan tinggi 92, lebar 44 cm; bagian belakang tinggi 39 cm, lebar 48 cm, adapun panjangnya 76 cm. Kepala arca sebagian pecah, aus, berlumut; mulut terbuka, gigi kelihatan, bertaring, lidah sedikit keluar; mata bulat melotot. Di bawah dagu terdapat surai dalam bentuk garis lurus dan ujungnya melengkung, surai juga terdapat di kepala bagian belakang memanjang hingga punggung. Di antara kaki terdapat bandul kalung (?) berupa tali. Pantat besar, ekor ke atas sampai punggung.
r) Arca Singa 2
               Arca Singa 2 terbuat dari batu, terdapat di atas biaro perwara B. Ukuran arca singa bagian depan tinggi 54 cm lebar 40 cm; bagian belakang tinggi 39 cm, lebar 46 cm, adapun panjang 80 cm. Arca singa dalam keadaan aus, berjamur, dan bagian kepala sampai dengan leher hilang.  Bagian dada terdapat surai, di bagian bawah perut di antara kedua kaki depan
terdapat singa kecil dengan posisi kaki mengangkang ke atas dan posisi kepala menengadah. Singa berdiri di atas lapik setebal 8 cm dengan posisi kaki depan lurus
sedangkan kaki belakang ditekuk ke depan. Ekor singa menempel ke bagian atas punggung.
s) Fragmen arca singa
                Arca terbuat dari batu putih, bagian kepala sampai dengan leher sudah hilang, singa dalam posisi berdiri, di bagian dada masih terlihat surai. Ukuran arca tinggi 34, panjang 30 dan lebar 25 cm. Arca disimpan di werk-ket Biaro Si Pamutung.

t) Arca kepala buaya
               Pada saat Satyawati Suleiman melakukan penelitian di Biaro Si Pamutung, terdapat 2 arca kepala buaya dari batu (Suleiman 1976: 20). Saat ini arca kepala buaya tersebut tinggal satu, disimpan di Museum Sumatera Utara. Fragmen kepala buaya digambarkan mulutnya menganga, rahang atas dan rahang bawah terdiri dari dua batu. Arca dibuat dari dua lempeng batu bagian rahang atas dan rahang bawah. Arca buaya digambarkan mempunyai kumis, hidungnya seperti hidung manusia dan pada pipinya terdapat tonjolan-tonjolan sebagai penggambaran kulit buaya yang kasar. Kumis buaya digambarkan dalam hiasan sulur-suluran dan pada rahang atas terlihat gigi-giginya.


u) Fragmen bagian atas Stambha 1
                 Fragmen bagian atas stambha terbuat dari batu putih berukuran tinggi 39 cm, 
diameter atas 45 cm, diameter bawah 18 cm, dan diameter tengah 34 cm. Fragmen tersebut berbentuk bulat lonjong, bagian bawah dan atas lebih kecil dibandingkan bagian tengahnya.

v) Fragmen bagian atas Stambha 2
          Fragmen bagian atas stambha terbuat dari batu putih terdiri dari dua batu yang ditangkupkan, berukuran tinggi 56 cm, diameter bagian atas 19 cm, diameter tengah 19 cm, dan diameter bawah 21 cm. Berbentuk bulat lonjong semakin ke atas semakin kecil,.
pada bagian bawah terdapat batu yang menonjol sebagai pasak berukuran panjang 11 cm dan diameter 14 cm.
 
w) Umpak berhias padma
                  Umpak berbentuk segi empat agak membulat, bagian bawah lebar dan
bagian atasnya mengecil. Pada sisi-sisinya berhias kelopak padma. Ukuran lapik panjang 54 cm, lebar 44 cm dan tinggi 28 cm. Di bagian atas terdapat lubang dengan ukuran panjang 13 cm, lebar 12 cm, dan kedalaman 26 cm.


Sumber (dengan perubahan):
Kepurbakalaan Padang Tinjauan Literatur