Kondisi Situs
Candi Jepara berada di Desa Jepara, Kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, Kabupaten Ogan Komering Ulu ( OKU) Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Situs ini terletak di kebun kopi yang leraknya di sebelah barat desa dengan jarak sekitar 700 meter di tepi Danau Ranau. Untuk mencapai lokasi tidak sulit, karena sudah ada jalan beraspal yang menghubungkan Kota Baturaja dan Daerah Wisata Danau Ranau.
Candi Jepara berada di Desa Jepara, Kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, Kabupaten Ogan Komering Ulu ( OKU) Selatan, Provinsi Sumatera Selatan. Situs ini terletak di kebun kopi yang leraknya di sebelah barat desa dengan jarak sekitar 700 meter di tepi Danau Ranau. Untuk mencapai lokasi tidak sulit, karena sudah ada jalan beraspal yang menghubungkan Kota Baturaja dan Daerah Wisata Danau Ranau.
Gambar 1. Kondisi situs
Sumber : Masnadi ( 2016, p.1)
Kepala UPTD Dinas Pariwisata Kabupaten (Disbudpar) OKU Selatan Benyamin
menceritakan, Candi Batu Kebayan ini merupakan perwujudan dari seorang
pengantin perempuan yang dikutuk menjadi batu oleh si Pahit Lidah. "Cerita
ini berawal saat seorang pengantin wanita yang diarak oleh rombongannya
hendak menuju rumah calon suaminya. Sudah menjadi adat masyarakat
setempat kalau pengantin wanita beserta barang benatok atau barang
bawaannya berserta calon pengantin diarak ke rumah calon suaminya,"
Ceritanya. Saat mereka sedang melintas itulah lanjut Benyamin,
dari atas puncak Gunung Seminung mereka ditegur oleh si Pahit Lidah.
Berhubung jarak antara mereka dan si Pahit Lidah sangat jauh, tidak
seorangpun yang mendengar panggilan tersebut. Hal ini membuat si Pahit
Lidah marah dan mengatakan kalau mereka semua seperti batu yang tidak
mendengar dan tidak menjawab pertanyaannya. "Karena kutukan Pahit
Lidah itu, Seketika saja semua orang-orang yang mengiringi calon
pengantin wanita tersebut menjadi batu termasuk juga si calon pengantin
dan barang-barang bawaannya," ceritanya.
Hasil Penelitian
Candi Jepara untuk kali pertama dilaporkan penemuannya oleh seorang
controllir Belanda beranama G.A. Schouten (NBG 1885:52-53). Dalam
laporannya disebutkan bahwa Candi Jepara dibuat dari batu alam dan
berukuran 8,1 x 9,6 meter. Di sekitar runtuhan bangunan masih merupakan
semak belukar, dan di antara rimbunan semak terdapat batu-batu candi.
Candi ini juga terdapat dalam Oudheidkundige Verslag pada 1914 yang menyebutkan adanya candi batu di Desa Jepara di tepi Danau Ranau. Pada 1937, seorang konservator museum di Palembang, melaporkan adanya
fondasi bangunan candi dari batu alam. Di sisi timurnya terdapat empat
tangga. Profil dindingnya berbentuk oyief (ogives) dan setengah lingkaran. Bangunan candi dari andesit sangat jarang ditemukan di Sumatera (Schnitger, 1937:4).
Ekskavasi yang dilakukan pada 1984 berhasil menampakkan sisa kaki bangunan tersebut. Bangunan itu pun di beberapa tempat sudah hilang. Bagian kaki bangunan yang tampak masih baik terletak di sisi barat, tetapi kedua ujungnya telah hilang. Bagian kaki yang mengalami kerusakan terparah terdapat di sisi timur. Pada bagian ini yang masih tersisa adalah pintu masuknya. Ukuran bangunan yang dapat diketahui adalah 8,30 x 9,70 meter membujur arah barat-timur. Profil bagian kaki ini adalah sisi genta dan setengah lingkaran. Pada 2008 sudah dilakukan eskavasi dengan hasil kedalaman candi sekitar 2 meter dari permukaan tanah, dengan lebar 7 meter dan panjang 12 meter. Candi berbentuk bangunan segi empat dengan bantuan tersusun rapih penuh profil. Tiap batu ada lubang sebagai pengunci antar batu satu dengan batu yang lainnya.
Ekskavasi yang dilakukan pada 1984 berhasil menampakkan sisa kaki bangunan tersebut. Bangunan itu pun di beberapa tempat sudah hilang. Bagian kaki bangunan yang tampak masih baik terletak di sisi barat, tetapi kedua ujungnya telah hilang. Bagian kaki yang mengalami kerusakan terparah terdapat di sisi timur. Pada bagian ini yang masih tersisa adalah pintu masuknya. Ukuran bangunan yang dapat diketahui adalah 8,30 x 9,70 meter membujur arah barat-timur. Profil bagian kaki ini adalah sisi genta dan setengah lingkaran. Pada 2008 sudah dilakukan eskavasi dengan hasil kedalaman candi sekitar 2 meter dari permukaan tanah, dengan lebar 7 meter dan panjang 12 meter. Candi berbentuk bangunan segi empat dengan bantuan tersusun rapih penuh profil. Tiap batu ada lubang sebagai pengunci antar batu satu dengan batu yang lainnya.
Gambar 2. Hasil ekskavasi
Sumber : Utomo ( 2014, p.176)
Pemerian yang dibuat Schnitger berlainan
dengan pemerian yang mutakhir, terutama pada ukurannya. Schnitger
menyebutkan ukurannya 8,10 x 9,60 meter, sedangkan laporan yang mutakhir
menyebutkan 8,30 x 9,70 meter. Perbedaan itu mungkin disebabkan karena
pergeseran batu candi yang terjadi karena licinnya tanah tempat
berpijaknya bangunan tersebut. Jika dihitung dari kedalaman fondasi,
maka dapat diduga bahwa bangunan Candi Jepara tidak disusun secara
berkekalan dengan bagian badan dan atap bangunan. Dengan kata lain,
bangunan Candi Jepara berbentuk semacam teras yang tidak mempunyai
dinding (bilik) dan atap bangunan.
Berdasarkan pengamatan pada bentuk
hiasannya, menunjukkan gejala bahwa Candi Jepara belum selesai
dikerjakan. Gejala itu terlihat pada bagian pintu masuk bangunan berupa
goresan-goresan yang mengarah pada bentuk lengkungan. Goresan-goresan
tersebut memberi kesan bahwa bangunan tersebut belum selesai dikerjakan.
Petunjuk pasti yang dapat menentukan
pertanggalan bangunan Candi Jepara belum ditemukan. Petunjuk itu antara
lain berupa prasasti. Namun, petunjuk pertanggalan mengenai bila
didirikannya bangunan Candi Jepara dapat diperoleh dengan cara
mengadakan perbandingan langgam dengan candi-candi lain yang sudah
diketahui pertanggalannya. Perbedaan langgam dapat dilihat pada profil
kaki bangunan.
Pada umumnya, bangunan candi yang
dibangun pada masa awal (misalnya candi-candi di Kompleks Percandian
Dieng dan Kompleks Percandian Gedongsongo) mempunyai bentuk kaki
bangunan yang tinggi, tanpa hiasan, dan berpelipit sederhana. Pada
perkembangan selanjutnya, bentuk pelipit yang sederhana itu berubah
menjadi bentuk sisi genta, setengah lingkaran, dan mempunyai hiasan.
Pada akhir zaman klasik Indonesia (sekitar abad ke-15 Masehi, bentuk
sisi genta dan setengah lingkaran berubah menjadi bentuk bersegi-segi
(misalnya pada Candi Gedingsuro di Palembang dan candi-candi dari masa
Majapahit). Jika diteliti bentuk profil kaki bangunan candi Jepara yang
mempunyai pelipit sisi genta dan setengah lingkaran, maka dapat diduga
bahwa Candi Jepara berasal dari sekitar abad ke-9-10 Masehi. Bentuk
profil seperti itu yang ditemukan pada candi Plaosan, Candi Sari, dan
Candi Sambisari di Jawa Tengah.
Daftar Pustaka :
Masnadi ( 2016, February 10). Situs candi kabayan di okus ini kondisinya memprihatinkan. Rakya Merdeka Online Group. Retrieved September 22, 2016, from http://www.rmolsumsel.com
Sumatera Express. (2013, January 7). Candi kabayan perlu dipugar. Harian Pagi Sumatera Express. Retrieved September 22, 2016, from http://www.sumeks.co.id
Utomo, Bambang Budi, 2014, “Candi Jepara”, dalam Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan (ed.) Candi Indonesia Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa, Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hlm. 176–177.
Sumatera Express. (2013, January 7). Candi kabayan perlu dipugar. Harian Pagi Sumatera Express. Retrieved September 22, 2016, from http://www.sumeks.co.id
Utomo, Bambang Budi, 2014, “Candi Jepara”, dalam Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan (ed.) Candi Indonesia Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa, Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hlm. 176–177.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar